Senin, 22 Mei 2017

Analisis UU Wakaf di Indonesia

UNDANG-UNDANG WAKAF DI INDONESIA
A.     PENDAHULUAN
Masyarakat Islam Indonesia memahami filantropi sebagai esensi ajaran keagamaan. Karenanya dapat dikatakan bahwa aktivitas filantropi Islam selalu tumbuh subur di tengah tumbuh berkembangnya komunitas-komunitas Muslim di tanah air. Konsep filantropi Islam didasari oleh sesuatu pandangan dunia Qur’ani tentang hakikat manusia sebagai hamba sekaligus khalifah Tuhan dimuka bumi. Didalam diri manusia terkandung suatu potensi pengetahuan kreatif serta kecondongan kepada kebajikan moral, bahkan melebihi kualitas malaikat sekalipun. Namun disisi lain, manusia juga memiliki berbagai kelemahan mendasar berupa ketidakmampuan melihat akibat jangka panjang dari tindakanya.oleh karenya potensi kemanusiaan dapat saja tergius habis. Konsep filantropi dalam islam berpijak kuat diatas sebuah pradigma bahwa martabat manusia sebagai sesuatu yang sangat penting untuk dipelihara dan bahkan diperjuangkan. Tindakan filantropi merupakan ujian keimanan yang arus dipertimbangakan sungguh-sungguh oleh setiap mukmin yang mengharapkan keselamatan dunia dan akhirat.[1]
Dengan demikian, filantropi dalam islam merupakan suatu bentuk kebajikan hakiki yang terwujud dalam berbagai sikap dan tindakan yang mendatangkan kebajikan dan kemaslahatan manusia lainya. Dewasa ini, filantropi memiliki sejumlah tujuan yang tidak semata-mata bersifat keagamaan, tetapi juga bersifat sosial, dengan keyakinan bahwa memberikan layanan beban kemiskinan masyarakat dapat dikurangi atau bahkan dihilangkan. Sementara itu ada juga lembaga filantropi yang bergerak dalam perubahan sosial dengan menjadikan keadilan sosial sebagai tujuan utamanya.[2]
Dengan demikian bentuk-bentuk filantropi terus berkembang dari waktu kewaktu dan dewasa ini memperoleh perhatian yang luas tidak hanya dari kalangan ahli agama, tetapi juga negara, diantaranya: shadaqah, zakat dan wakaf. Namun dimakalah ini akan dibahas tentang wakaf.
Pelaksanaan wakaf telah dimulai sejak masa Rasulullah, hal ini dapat diketahui dari hadits Ibn Umar tentang tanah khaibar.[3] Namun pelembagaan wakaf gencar dilakukan pada paruh kedua abad ke-8 M pada saat perumusan sistem hukum islam dalam kerangka mazhab fiqih mulai mapan. Disatu sisi, pelembagaan wakaf melibatkan formulasi tentang administrasi wakaf menurut prinsip-prinsip syari’ah. Disisi lain,proses ini melibatkan praktik pengawasan yang dijalankan oleh negara. Perumusan administrasi wakaf dalam kerangka fiqih dilakukan oleh para imam mazhab yang bekerja secara relatif otonom dari kekuasaan negara, sedangkan pengawasan administrasi wakaf dijalankan oleh hakim(qadi) yang merupakan bagian dari aparat pemerintah yang berkuasa.[4]
Pengawasaan administrasi wakaf sesungguhnya telah mulai pada masa umayyah( abad ke-7 dan paruh pertama abad ke-8). Fungsinya untuk mengawasi distribusi hasil wakaf serta kemungkinan penyalahgunaan wakaf oleh nadzir. Untuk tujuan ini pemerintah umayyah membentuk semacam dewan wakaf(dewan al-ahbas). Fungsi dewan ini pada masa itu hanya sebatas pada pencatatan ikrar wakaf yang dilakukan oleh wakif dalam dokumentasi yang dikenal dengan waqfiyya atau rasm al-tahbis.
Sebelum akhir abad ke-10, admistrasi wakaf tidak dilakukan secara terpusat, melainkan dikelola secara relatif indefenden oleh para nadzir dibawah pengawasan qadi setempat. Namun pada masa khalifah al-Mu’izz(974 M) dari dinasti Fathimiya, admistrasi wakaf mulai dipusatkan dengan cara memindahkan dana wakaf dari dewan wakaf ke bayt al-Mal (semacam kas negara), dan penerima harus membuktikan klaimnya sebagai penerima. Dengan dana-dana ini pemerintah fathimiyah bisa membantu semua jenis lembaga filantropi yang ada, khususnya yang asetnya telah habis.[5]
Di Indonesia, setelah melalui proses yang panjang dalam rapat paripurna DPR RI untuk mengambil keputusan RUU wakaf yang berlansung pada tanggal 28 september 2004, akhirnya RUU tentang wakaf disetujui menjadi undang-undang.[6]
Kehadiran undang-undang wakaf agar dapat memenuhi kebutuhan perubahan zaman, agar lembaga-lembaga filantropi islam dapat tumbuh secara dinamis. Harapan umat islam Indonesia akan sepakat hukum filantropi islam sangatlah besar. Keinginan yang kuat ini tidak berdiri sendiri, melainkan dibentuk konteks sosial-ekonomi, dan politik yang berubah. Disamping itu, dengan disahnya undang-undang ini, objek wakaf lebih luas cakupanya tidak hanya sebatas benda tidak bergerak saja, tapi juga meliputi benda bergerak seperti uang, surat berharga, hak sewa dan sebagainya. Negara juga dapat berperan, meski dalam ruang lingkup yang khas dan terbatas.

B.     Pengertian Wakaf
1.      Etimologi Wakaf
Dalam literatur fiqih wakaf terkadang menggunakan kata sinonim, diantaranya al-tahbi>s, al-tasbi>l, shadaqah. Kata ini mempunyai makna yang sama, yaitu wakaf. Pengertian wakaf dari sudut etimologi adalah {الحبس عن التصرف}, yaitu menahan dari penggunaan.[7]

2.      Terminologi Wakaf
Menurut madzhab Ima>m Abu Hani>fah, “wakaf adalah menahan suatu benda di dalam hak milik pewakaf dan mendermakan manfaat barang itu pada jalan kebaikan”.[8]
Madzhab Ima>m Ma>lik mendefinisikan bahwa “wakaf adalah pemberian manfaat dengan jalan wakaf untuk selama-lamanya, menurut suatu pendapat, yang benar adalah boleh secara mutlak mewakafkan benda untuk selamanya atau terbatas oleh waktu”.[9]
Wakaf menurut madzhab Ima>m al-Sya>fi’i adalah “Menahan suatu benda yang mungkin dapat dimanfaatkan, sementara pokonya tetap tidak hilang kerena diambil kegunaan dan manfaatnya sepanjang penggunaaan ini dibolehkan menurut hukum.”[10]
Sedangkan menurut Madzhab Ima>m Ahmad bin Hambal, “wakaf adalah Menahan pokok benda dan menggunakan manfaatnya.”[11]
Dari beberapa termenologi wakaf yang dikemukan ulama, terdapat beberapa unsur persamaan dan unsur perbedaan. Unsur persamaanya adalah:
1.      Perubahan status kepemilikan menjadi benda yang diwakafkan.
2.      Manfaat yang diambil adalah hasil yang diperoleh dari benda wakaf.
3.      Wakaf ditunjukan untuk kebajikan atau kepentingan agama.
4.      Benda yang diwakafkan bernilai ekonomis dan tahan lama.
Sedangkan unsur perbedaanya adalah persepsi masing-masing madzhab tentang wakaf.
Madzhab Ima>m Hanafi menekankan wakaf pada manfaat yang dihasilkan oleh benda, sedangkan status kepemilikan tetap menjadi hak pewakaf.
Madzhab Ima>m Ma>lik menekankan adanya kepastian hukum yang mengikat berupa batasan waktu bagi benda yang diwakafkan, pembatasan waktu itu pada saat ikrar wakaf ditetapakan.
Madzhab Ima>m Sya>fi’i menekankan bahwa, wakaf merubah status kepemilikan dari hak milik seseorang menjadi hak milik Allah yang dalam hal ini diwakilkan oleh suatu lembaga wakaf.
Menurut madzhab Ima>m Ahmad bin Hambal, tidak jauh berbeda dengan yang dikemukan Madzhab Ima>m Sya>fi’i, yaitu menekankan perubahan status kepemilikan dari hak milik pribadi menjadi hak milik Allah.
3.      Macam-Macam Wakaf
Macam-macam wakaf dikaitkan dengan pihak penerima wakaf ada dua, yaitu : wakaf ahliy (wakaf keluarga) dan wakaf khairiy (wakaf sosial)[12]
Wakaf khairiy adalah wakaf yang ditunjukan pertama kali untuk kebajikan sampai batas waktu tertentu, kemudian peruntukan wakaf berpindah kepada seseorang atau beberapa orang. Contoh wakaf khairiy adalah seseorang mewakafkan tanahnya untuk rumah sakit selama sepuluh tahun, kemudian setelah batas waktu yang dintentukan, wakaf itu menjadi wakaf ahli yaitu untuk dirinya dan anak-anaknya.
Wakaf ahliy adalah wakaf yang pada awalnya diwakafkan untuk diri pewakaf atau seseorang atau beberapa orang tertentu dan terakhir untuk kepentingan kebajikan atau maslahat umum.
Menurut Badra>n Abu al-Ainaini, praktek wakaf terkadang beragam, ada yang mewakafkan setengah hartanya untuk wakaf khairiy dan setengah yang lain untuk wakaf ahliy, seperti dikatakan”Aku mewakafkan setengah dari hartaku untuk diriku kemudian setelah aku wafat untuk anak-anakku dan setengah yang lain aku wakafkan untuk rumah sakit”. Maka ikrar ini sebagian adalah wakaf ahliy dan setengahnya lagi wakaf khairiy.[13]
C.     Dasar Hukum Wakaf
Dasar hukum wakaf dari Al-Qur’an, al-Hadits, dan Ijma’ para sahabat.
a.       Al-Qur’an
Didalam al-Qur’an tidak terdapat ayat-ayat secara khusus yang mengatur tentang wakaf, namun demikian terdapat beberapa ayat yang bersifat umum yang menjadi dasar hukum wakaf, antara lain adalah:
لَن تَنَالُواْ ٱلۡبِرَّ حَتَّىٰ تُنفِقُواْ مِمَّا تُحِبُّونَۚ وَمَا تُنفِقُواْ مِن شَيۡءٖ فَإِنَّ ٱللَّهَ بِهِۦ عَلِيمٞ ٩٢
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.(Ali Imran:92)

b.      Hadits
حديث أبي هريرة أنه قال : أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : اذ ا مات الإنسان انقطع عمله الا من ثلاث : الا من صدقة جارية أوعلم ينتفع به أو ولد صالح يدعوله {رواه مسلم }
Hadits Abu Hurairah, ia berkata: bahwa Rusulullah s.a.w bersabda: Apabila manusia meninggal dunia maka terputuslah amalnya kecuali tigal hal: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang mendo’akan kepadanya. ( hadits riwayat Muslim ).
c.       Ijma’ Sahabat
Praktek wakaf dilakukan oleh para sahabat, diantaranya adalah umar bin khatab mewakafkan tanah di Khaibar, Ali bin Abi Thalib, Fatimah binti Muhammad. Pelaksanaan wakaf oleh para sahabat ini, tidak ada sahabat yang lain mengingkari, maka Ulama menyatakan para sahabat sudah sepakat tentang prktek wakaf adalah bagian dari hukum islam. Praktek para sahabat diikuti pula oleh generasi tabi’in, tabi’it tabi’in hingga kaum muslimin setelahnya. Dengan demikian wakaf terus berkembang secara berkesinambungan hingga sekarang. Ijma para sahabat ini dapat dijadikan dasar hukum bahwa wakaf merupakan bagian dari ajaran islam.
D.     Latar Belakang UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf
Berbekal dari dasar pemikiran, baik analisa ajaran  fiqih, fenomena
sosiologis maupun landasan hukum berupa persetujuan prakarsa penyusunan Rancangan Undang-Undang Wakaf dari Presiden melalui Sekretaris Negara, Bambang Kesowo, maka Direktorat zakat dan wakaf menindaklanjuti dengan menyiapkan naskah akademik sebagai landasan pemikiran dalam penyusunan RUU tentang Wakaf. Naskah Akademik ini disusun oleh Dr. Uswatun hasanah, pakar perwakafan dari Universitas Indonesia.[14]
Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang  tentang Wakaf ini adalah dalam rangka memberi alasan pentingnya penyusunan RUU tentang wakaf. Konsep-konsep yang dimuat dalam naskah ini mengacu pada perkembangan perwakafan di Indonesia dan tuntutan masyarakat untuk mewujudkan kesejahteraan sosial. Harta wakaf pada prinsipnya adalah milik umat, dengan demikian manfaatnya juga harus dirasakan oleh umat dan oleh karena itu pada tataran idealnya maka harta wakaf adalah tanggung jawab kolektif guna menjaga keeksisannya.Oleh kerena itu, pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Lahirnya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf tersebut, memberikan setitik harapan bagi perkembangan dinamis wakaf di Indonesia. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tersebut mengamanatkan pemerintah untuk memberikan pembinaan terhadap lembaga wakaf di Indonesia agar dapat berperan meningkatkan kesejahteraan masyarakat umum.
E.     Urgensi UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf
Sepanjang sejarah Islam, wakaf merupakan sarana danmodal yang amat penting dalam memajukan perkembangan agama. DiIndonesia, perwakafan diatur dalam PP No. 28 Tahun 1977 sebelum lahir UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, perwakafan tanah milik dan sedikit disinggung dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria. Namun peraturan perundang-undangan tersebut hanya mengatur benda-benda wakaf tak bergerak dan peruntukannya lebih banyak untuk kepentingan ibadah mahdhah,seperti masjid, musholla, pesantren, kuburan, dan lain-lain.[15] Karena keterbatasan cakupannya, kedua peraturan perundang-undangan tersebut belum memberikan peluang yang maksimal bagi tumbuhnya pemberdayaan benda-benda wakaf secara produktif dan profesional. Maka pada tanggal 27 Oktober 2004, UU  No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf diundangkan oleh pemerintah (Presiden) yang memiliki urgensi, yaitu selain untuk kepentingan ibadah  mahdhah, juga menekankan perlunya pemberdayaan wakaf secara produktif untuk  kepentingan sosial (kesejahteraan umat).

F.      Undang-Undang No.41 Tahun 2004 tentang Wakaf
Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik  Indonesia dan Presiden Republik Indonesia tentang wakaf, pada pasal 1[16]:
1.      Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umun menurut syariah.
2.      Wakif adalah pihak yang mewakafkan harta benda miliknya.
3.      Ikrar wakaf adalah pernyataan kehendak wakif yang diucapkan secara lisan dan/atau tulisan kepada nazhir untuk mewakafkan harta benda miliknya.
4.      Nazhir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukanya.
5.      Harta Benda Wakaf adalah harta benda yang memiliki daya tahan lama dan/atau manfaat jangka panjang serta mempunyai nilai ekonomi syariah yang diwakafkan oleh wakif.
6.      Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf, selanjutnya disingkat PPAIW, adalah pejabat berwenang yang ditetapakan oleh menteri untuk membuat akta ikrar wakaf.
7.      Badan Wakaf Indonesia adalah lembaga independen untuk mengembangkan perwakafan di Indonesia.
8.      Pemerintah adalah perangkat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas Presiden beserta para menteri.
9.      Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab dibidang agama.

G.    DASAR-DASAR WAKAF[17]
Bagian Pertama : Umum
Pasal 2, Wakaf sah apabila dilaksanakan menurut syariah.
Pasal 3, Wakaf yang telah diikrarkan tidak dapat dibatalkan.
Bagian Kedua : Tujuan dan Fungsi Wakaf
            Pasal 4, Wakaf bertujuan memanfaatkan harta benda wakaf sesuai dengan fungsinya.
            Pasal 5, Wakaf berfungsi mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum.
Bagian Ketiga : Unsur Wakaf
                        Pasal 6, Wakaf dilaksanakan dengan memenuhi unsur wakaf sebagai berikut: Wakif; Nazhir;  Harta Benda Wakaf; Ikrar Wakaf; peruntukan harta benda wakaf;  jangka waktu wakaf.
a.     Wakif
            Pasal 7 : Wakif meliputi: perseorangan, organisasi, badan hukum.
Wakif perseorangan, bisa dikatakan melakukan wakaf apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut : dewasa; berakal sehat; tidak terhalang melakukan perbuatan hukum; dan pemilik sah harta benda wakaf.[18]
Wakif organisasi, hanya dapat melakukan wakaf apabila memenuhi ketentuan organisasi untuk mewakafkan harta benda wakaf milik organisasi sesuai dengan anggaran dasar organisasi yang bersangkutan.[19]
Wakif badan hukum,hanya dapat melakukan wakaf apabila memenuhi ketentuan badan hukum untuk mewakafkan harta benda wakaf milik badan hukum sesuai dengan anggaran dasar badan hukum yang bersangkutan.[20]
Makna yang dimaksud dengan perseorang, organisasi dan/atau badan hukum adalah perseorangan warga negara Indonesia atau warga negara asing, organisasi Indonesia atau organisasi asing dan/atau badan hukum Indonesia atau badan hukum asing.[21]
b.      Nazir[22]
Perseoranga, hanya dapat menjadi Nazhir apabila memenuhi persyaratan: warga negara Indonesia; beragama Islam; dewasa; amanah;  mampu secara jasmani dan rohani; dan tidak terhalang melakukan perbuatan hukum.
Organisasi, hanya dapat menjadi Nazhir apabila memenuhi persyaratan pengurus organisasi yang bersangkutan memenuhi persyaratan nazhir perseorangan dan organisasi yang bergerak dibidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan, dan/atau keagamaan Islam.
Badan hukum, hanya dapat menjadi Nazhir apabila memenuhi persyaratan menjadi pengurus badan hukum yang bersangkutan memenuhi persyaratan nazhir perseorangan, badan hukum Indonesia yang dibentuk sesuai dengan peraturan perundang.undangan yang berlaku dan badan hukum yang bersangkutan bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan, dan/atau keagamaan Islam.
Yang dimaksud dengan perseorangan, organisasi dan/atau badan hukum adalah perseorangan warga negara Indonesia, organisasi Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia.[23]
Pasal 11 : Nazhir mempunyai tugas:  rnelakukan pengadministrasian harta benda wakaf;  mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi, dan peruntukannya; mengawasi dan melindungi harta benda wakaf; melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia.
Pasal 14 :
1.       Dalam rangka pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Nazhir harus terdaftar pada Menteri dan Badan Wakaf Indonesia.
Yang dimaksud pasal 14 ayat 1 itu adalah dalam rangka pendaftaran Nazhir, menteri harus proaktif untuk mendaftar pada nazhir yang sudah ada dalam masyarakat.[24]
c.       Harta Benda Wakaf
Pasal 15 :Harta benda wakaf hanya dapat diwakafkan apabila dimiliki dan dikuasai oleh Wakif secara sah.
Pasal 16 : Harta benda wakaf terdiri dari:
a.       benda tidak bergerak; dan
b.      benda bergerak.
Benda tidak bergerak seperti:
a.    hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku baik yang sudah maupun yang belum terdaftar
b.    bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di atas tanah
c.    tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah;
d.    hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang.undangan yang berlaku
e.    benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang.undangan yang berlaku.
Benda bergerak adalah harta benda yang tidak bisa habis karena dikonsumsi, meliputi: (a)uang;(b) logam mulia;(c)surat berharga; (d)kendaraan;(e) hak atas kekayaan intelektual; (f)hak sewa; (g) dan benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang.undangan yang berlaku.
Yang dimaksud dengan bagian (g) adalah benda bergerak lain sesuai dengan syariah, dan peraturan yang berlaku, antara lain mushaf, buku, dan kitab.[25]


d.      Ikrar Wakaf
Pasal 17 :
1.        Ikrar wakaf dilaksanakan oleh Wakif kepada Nadzir di hadapan PPAIW dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi.
2.        Ikrar Wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan secara lisan dan/atau tulisan serta dituangkan dalam akta ikrar wakaf oleh PPAIW.
Saksi dalam ikrar wakaf harus memenuhi persyaratan[26]:
a.  dewasa;
b.  beragama Islam;
c.  berakal sehat;
d.  tidak terhalang melakukan perbuatan hukum.
Pasal 19: Untuk dapat melaksanakan ikrar wakaf, wakif atau kuasanya menyerahkan surat dan/atau bukti kepemilikan atas harta benda wakaf kepada PPAIW.
Yang dimaksud pasal 19 adalah penyerahan surat-surat atau dokumen kepemilikan atas harta benda wakaf oleh wakif atau kuasanya kepada PPAIW dimaksudkan agar diperoleh kepastian keberadaan harta benda wakaf dan kebenaran adanya hak wakif atas harta benda wakaf dimaksud.[27]
e. Peruntukan Harta Benda Wakaf
Pasal 22 : Dalam rangka mencapai tujuan dan fungsi wakaf, harta benda wakaf hanya dapat diperuntukan bagi: sarana dan kegiatan ibadah;sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan;bantuan kepada fakir miskin anak terlantar, yatim piatu, bea siswa; kemajuan dan peningkatan ekonomi umat; dan/atau kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan syariah dan peraturan perundang-undangan.
H.    Wakaf Benda Bergerak Berupa Uang
Pasal 28: Wakif dapat mewakafkan benda bergerak berupa uang melalui lembaga keuangan syariah yang ditunjuk oleh Menteri.[28]
Yang dimaksud dengan lembaga keuangan syariah adalah badan hukum Indonesia yang bergerak di bidang keuangan syariah.[29]
Pasal 29 :
(1) Wakaf benda bergerak berupa uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 dilaksanakan oleh Wakif dengan pernyataan kehendak Wakif yang dilakukan secara tertulis.
(2) Wakaf benda bergerak berupa uang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)diterbitkan dalam bentuk sertifikat wakaf uang.
(3) Sertifikat wakaf uang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterbitkan dan disampaikan oleh lembaga keuangan syariah kepada Wakif dan Nazhir sebagai bukti penyerahan harta benda wakaf.
Yang dimaksud pada ayat 1 adalah pernyataan kehendak wakif secara tertulis tersebut dilakukan kepada lembaga keuangan syariah dimaksud.[30]
I.       Pendaftaran Dan Pengumuman Harta Benda Wakaf
Pasal 32:PPAIW atas nama Nazhir mendaftarkan harta benda wakaf kepada Instansi yang berwenang paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak akta ikrar wakaf ditanda tangani.
Yang dimaksud adalah Instansi yang berwenang dibidang wakaf tanah adalah Badan Pertanahan Nasional. Instansi yang berwenang dibidang wakaf benda bergerak selain uang adalah instansi yang terkait dengan tugas pokoknya. Instansi yang berwenang dibidang wakaf benda bergerak selain uang yang tidak terdaftar adalah Badan Wakaf Indonesia[31]
Pasal 38: Menteri dan Badan Wakaf Indonesia mengumumkan kepada masyarakat harta benda wakaf yang telah terdaftar.
Maksudnya adalah mengumumkan harta benda wakaf dengan memasukkan data tentang harta benda wakaf dalam register umum. Dengan dimasukkannya data, tentang harta benda wakaf dalam register umum, maka terpenuhi asas publisitas dari wakaf sehingga masyarakat dapat mengakses data tersebut.[32]
J.      Perubahan Status Harta Benda Wakaf
Pasal 40:Harta benda wakaf yang sudah diwakafkan dilarang:( a)dijadikan jaminan;(b)disita;(c)dihibahkan;(d)dijual;(e)diwariskan;(f)ditukar; atau (g)dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya.
Pasal 41:
(1)  Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf f dikecualikan apabila harta
benda wakaf yang telah diwakafkan digunakan untuk kepentingan umum sesuai dengan rencana umum tata ruang (RUTR) berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak bertentangan dengan syariah.
(2)  Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan       setelah memperoleh izin tertulis dariMenteri atas persetujuan Badan Wakaf Indonesia.
(3) Harta benda wakaf yang sudah diubah statusnya karena ketentuan pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajibditukar dengan harta benda yang manfaat dan nilai tukar sekurang. kurangnya samadengan harta benda wakaf semula.
(4)   Ketentuan mengenai perubahan status harta benda wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1 ), ayat (2), dan ayat (3) diaturlebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.





H. Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf
Pasal 42: Nazhir wajib mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi, dan peruntukannya.[33]
Pasal 43 :
(1) Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf oleh Nazhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dilaksanakan sesuai dengan prinsip syariah.
(2) Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara produktif.
(3) Dalam hal pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang dimaksud pada ayat (1) diperlukan penjamin, maka digunakan lembaga penjamin syariah.
Maksud ayat 2 adalah pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf dilakukan secara produktif antara lain dengan cara pengumpulan, investasi, penanaman modal,produksi, kemitraan,perdagangan, agrobisnis,pertambangan,perindustrian, pengembangan teknologi, dan usaha-usaha yang tidak bertentangan dengan syariah.
Maksud ayat 3 adalah lembaga penjamin syariah badan hukum yang menyelenggarakan kegiatan penjaminan atas suatu kegiatan usaha yang dapat dilakukan antara lain melalui skim asuransi syariah atau skim lainya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undang yang berlaku.

K.    Kesimpulan
            Konsep filantropi dalam islam berpijak kuat diatas sebuah pradigma bahwa martabat manusia sebagai sesuatu yang sangat penting untuk dipelihara dan bahkan diperjuangkan. Dengan demikian bentuk-bentuk filantropi terus berkembang dari waktu kewaktu dan dewasa ini memperoleh perhatian yang luas tidak hanya dari kalangan ahli agama, tetapi juga negara, diantaranya: shadaqah, zakat dan wakaf. Di Indonesia, setelah melalui proses yang panjang dalam rapat paripurna DPR RI untuk mengambil keputusan RUU wakaf yang berlansung pada tanggal 28 september 2004, akhirnya RUU tentang wakaf disetujui menjadi undang-undang. Disahnya Rencana Undang-undang wakaf menjadi undang-undang wakaf merupakan langkah awal dari kebijakan pembenahan tata kelola wakaf di Indonesia. Walaupun dari substansi undang-undang wakaf dikategorikan cukup progresif namun perlu implementasi kebijakan yang terencana dan terarah dengan baik agar tujuan-tujuan penyusunan bisa tercapai.




























UNDANG-UNDANG HAJI DI INDONESIA
A.  Pendahuluan
Haji dalam arti berkunjung kesuatu tempat tertentu untuk tujuan ibadah, dikenal oleh umat manusia melalui tuntunan agama-agama, khususnya dibelahan timur dunia kita ini. Ibadah ini diharapkan dapat mengantar manusia kepada pengenalan jadi diri, membersihkan dan menyucikan jiwa mereka. Itu sebabnya mengapa ajaran agama-agama dalam kaitannya dengan ibadah haji mengajurkan pelakunya untuk memulainya dengan mandi untuk tujuan menyucikan jasmani dari segala noda dan taubat untuk tujuan menyucikan hati dari segala dosa.
Dalam berbagai buku yang berbicara tentang sejarah ka’bah dan haji, ditemukan uraian yang berbeda menyangkut siapa yang mula-mula membangun ka’bah dan melalui siapa Tuhan pada mulanya mensyariatkan ibadah haji. Kalau merujuk ke al-Qur’an kita dapat berkata antara lain bahwa :

Pertama: Nabi Ibrahim bersama putra beliau Ismail as, adalah yang meninggikan fondasi Ka’bah sesuai firman Allah swt:
وَإِذۡ يَرۡفَعُ إِبۡرَٰهِ‍ۧمُ ٱلۡقَوَاعِدَ مِنَ ٱلۡبَيۡتِ وَإِسۡمَٰعِيلُ رَبَّنَا تَقَبَّلۡ مِنَّآۖ إِنَّكَ أَنتَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡعَلِيمُ ١٢٧
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): "Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui"(QS. Al-Baqarah : 127)

 Ayat ini memberikan kesan bahwa Ka’bah telah ada sebelum Nabi Ibrahim as, hanya saja beliau bersama putranya Ismai’il as yang meninggikan fondasinya, karena boleh jadi ketika itu ka’bah telah runtuh atau bahkan rata dengan bumi.

Kedua: Setelah selesai tugasnya, Nabi Ibrahim as berdoa dengan diaminkan oleh putranya Ismai’il as dengan doa yang artinya “Tuhan peliharalah kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepadamu dan (jadikanlah) diantara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada-Mu dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadat haji kami, dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima taubat, lagi Maha Pengasih”(QS al-Baqarah : 128)

Ini memberi kesan bahwa Nabi Ibrahim as mengetahui adanaya ibadah yang berkaitan dengan Ka’bah dan sekitarnya, kerana itu beliau bermohon agar ditunjukakan tempat-tempat dan cara-cara ibadah tersebut. ini dapat diduga keras bahwa Allah swt mengabulkan doa beliau.

Ketiga: Nabi Ibrahim as, ditugaskan Allah swt untuk mengumandangkan seruan melaksanakan ibadah haji, sebagaimana firman-Nya :
وَأَذِّن فِي ٱلنَّاسِ بِٱلۡحَجِّ يَأۡتُوكَ رِجَالٗا وَعَلَىٰ كُلِّ ضَامِرٖ يَأۡتِينَ مِن كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٖ ٢٧
“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh”(QS. Al-Hajj : 27).

Konon ketika Nabi Ibrahim as mendengar perintah ini, beliau berkata, “Wahai Tuhan, suaraku tidak akan didengar oleh manusia” Maka Allah swt menjawabnya:” Engkau hanya mengumandangkan, Akun Yang memperdengarkan mereka”. Sejak saat itu hingga kini, ibadah haji terdengar atau dikenal menimal oleh Muslim dan diketahui bahwa ia adalah kewajiban yang ditetapakan Allah swt bagi yang mampu.
Haji dalam kehidupan masyarakat Jahiliyah
Masyarakat Jahiliyah yang mengagungkan Ka’bah dan mengklaim melaksanakan ajaran Nabi Ibrahim as, termasuk praktik ibadah haji. Islam datang mengukuhkan yang sesuai dan membatalkan atau meluruskan yang menyimpang, sebagai contoh[34]:
a.      Banyak anggota masyarakat Jahiliyah yang melaksanakan ritual berkeliling ka’bah tanpa busana, Wanita-wanita pun tanpa busana. Sambil berputar mengelilingi ka’bah, mereka berdendang : “Hari ini terlihat semua atau sebagian # Apa yang terlihat tidak ku bolehkan[35]
Memang  ada sekelompok masyarakat, yaitu sekelompok suku Quraisy yang bergelar al-Hummas,yakni yang sangat ketat dan tinggi semanagat keagamaannya. Mereka itu enggan melaksanakan Thawaf tanpa busana,dan mereka juga sering menyumbangkan pakian kepada wanita-wanita agar mengenakannya saat Thawaf, kebiasaan ini berlanjut hingga tahun ke-10 hijrah. Ketika itu juga Rasulullah saw, mengutus sayyidina ‘Ali ra untuk mengumumkan pada saat pelaksanaan haji tahun ke-10 itu bahwa tidak diperkenankan lagi seorangpun berthawaf tanpa busana.[36]
b.      Kelompok al-Hummas  merasa diri mereka sebagai kelompok aristokrat. Mereka melaksanakan wuquf diMuzdalifah dan enggan melaksanakannya di Arafah, tempat dimana seharusnya wuquf dilaksanakan. Kemudian ajaran islam meluruskan sikap mereka itu melalui perintah Allah swt kepada Nabi saw bersama umat islam untuk melaksanakan wuquf diArafah dalam firman-Nya :
ثُمَّ غَفُور أَفِيضُواْ مِنۡ حَيۡثُ أَفَاضَ ٱلنَّاسُ وَٱسۡتَغۡفِرُواْ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ ٞ رَّحِيمٞ ١٩٩
“Kemudian bertolaklah kamu dari tempat bertolaknya orang-orang banyak (´Arafah) dan mohonlah ampun kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”(QS. Al-Baqarah:199)
c.       Ada juga kelompok tertentu dari penduduk Yatsrib yang memulai ritual ibadah haji dari tempat yang berada di Shafa dan Marwah ( yang lazim diketahui sebagai miqa>t maka>n), lokasi dimana ketika itu terdapat dua patung yakni Isaf dan Nailah, yang menurut kepercayaan mereka adalah sepasang  lelaki dan perempuan yang berzina di dekat Ka’bah dan dikutuk Tuhan menjadi batu. Demikian riwayat Ima>m Muslim melalui ‘Aisyah ra.
d.      Adat buruk lainya adalah sikap segolongan masyarakat jahiliyah yakni apabila selesai melaksanakan haji, mereka tidak masuk rumah mereka melalui pintu-pintu yang tersedia, tetapi membuat lubang dibelakang rumah atau bagian atas rumah, lalu dari sana mereka memasuki rumah masing-masing.
e.       Pada awal masa Islam, orang-orang melakukan thawaf bersama-sama dan dengan bergandengan tangan, namun ini kemudian dibatalkan Nabi saw, agaknya kerena pandanaganjauh beliu. Banyangkan seandainya berthawaf harus dengan bergandengan tangan !

Demikian sedikit gambaran dari pelaksanaan Ibadah Haji sebelum tersebarnya ajaran Islam di Mekkah.
Sejarah ibadah haji tidak terlepas dari kota-kota yang menjadi pusat pelaksanaan haji. Makkah yang merupakan pusat kegiatan ibadah haji adalah tempat Nabi Muhammad SAW dilahirkan. Termasuk dibesarkannya Nabi Ismail A.S oleh kedua orang tuanya yaitu Nabi Ibrahim A.S dan Sitti Hajjar yang menjadi awal-mula sejarah haji tersebut.[37] Kewajiban melaksanakan ibadah itu, semua berawal dari wahyu yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya, begitupu haji. Diperintahkan haji bermuala dari turunya wahyu surat Al-Imran ayat 97:
فِيهِ ءَايَٰتُۢ بَيِّنَٰتٞ مَّقَامُ إِبۡرَٰهِيمَۖ وَمَن دَخَلَهُۥ كَانَ ءَامِنٗاۗ وَلِلَّهِ عَلَى ٱلنَّاسِ حِجُّ ٱلۡبَيۡتِ مَنِ ٱسۡتَطَاعَ إِلَيۡهِ سَبِيلٗاۚ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ ٱلۡعَٰلَمِينَ ٩٧
“Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam”(QS. Al-Imran : 97)
Di Indonesia, pelaksanaan ibadah haji tidak diketahui secara pasti, tapi menurut literatur sejarah telah dimulai sejak Islam masuk ke Indonesia pada sekitar abad 12 M, yang dilaksanakan secara perorangan dan kelompok dalam jumlah yang kecil serta belum dilaksanakan secara massal. Sejak berdirinya kerajaan Islam di Indonesia perjalanan haji mulai dilaksanakan secara rutin setiap tahunnya dan semakin meningkat jumlahnya setelah berdirinya kerjaan Pasai di Aceh pada tahun 1292.[38]
Perjalanan pulang dari Indonesia ke Arab Saudi memerlukan waktu yang cukup lama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun disebebkan karena perjalanan dilakukan melalui laut dengan menggunakan perahu layar, disamping itu juga singgah dinegara-negara tertentu untuk menuntut ilmu dan berdagang. Sebagai ilustrasi dapat diketahui dari perjalanan seorang sultan dari banten yang terkenal dengan sebagai Sultan Haji yaitu Sultan Abdul Kohar pada tahun 1674 melakukan perjalanan ke Makkah melalui Turki yang dilakukan dalam dua tahun. Bahkan banyak jamaah haji Indonesia terutama dari kalangan pesantren, kemudian menetap di Arab Saudi dan menghabiskan hidupnya disana.[39]
Penyelenggaraan ibadah haji pada zaman penjajahan, peraturan tentang perhajian pertama kali ditetapkan pada masa penjajahan kolonial Belanda (1825) dalam bentuk ordonasi, yang mangatur prosesi ritual dan sebagai upaya memberikan peluang kepada rakyat khususnya umat islam. Implementasi dari ordonansi dikemudian hari membuka kemungkinan upaya-upaya berbagai pihak untuk mengkeritisi penyelenggaraan haji pada masa itu. Dalam perkembangan lebih lanjut ordonansi tersebut justru menjadi alat pemerintah kolonial untuk mendeteksi siapa saja yang rajin melaksanakan ketentuan-ketentuan agama islam terutama dalam hal urusan upacara ritual atau ubudiyah[40]. Dengan peraturan-peraturan yang diterapkan maka pemerintah kolonial sangat mudah menjaring dan mengawasi para ulama yang menjadi pemimpin perjuangan untuk melepaskan bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan Belanda.[41]
Penyelenggaraan ibadah haji peda zaman kemerdekaan, pada masa perang dunia kedua, penurunan jumlah jamaah cukup drastis. Pelaksanaan ibadah haji mulai begairah lagi setelah tahun 1950-an bersamaan dengan berakhirnaya revolusi fisik perjuangan kemerdekaan. Pengurusan penyelenggaraannya dilakukan oleh bagian khusus urusan haji Dapartemen Agama RI. Pada tahun 1964, pemerintah mengeluarkan keputusan Presiden RI NO.112 tahun 1964 tentang penyelenggaran urusan haji secara interdapartemen. Berdasarkan pemikiran ini, maka penyelenggaran urusan haji memiliki kepanitian lebih mantap yang dikuatkan denagan keputusan Presiden. Sehingga pada tahun 2008, terbentuklah Undang-Undang NO 13 Tahun 2008 tentang penyelengaaraan ibadah haji dari hasil persetujuan sidang Dewan Perwakilan Rakyat.

B.   Difinisi Haji
Secara terminologi haji berasal dari bahasa Arabحج  yang mengandung arti qashd, yakni tujuan, maksud, dan menyengaja, berarti menyengaja atau menuju dan mengunjungi. Menurut istilah syara', haji ialah menuju ke Baitullah dan tempat-tempat tertentu untuk melaksanakan amalan-amalan ibadah tertentu pula.
Prof. Dr.  T.M Hasbi Ash Shiddieqy  dalam bukunya Pedoman Haji menyatakan haji menurut bahasa ialah menuju kesuatu tempat berulang kali atau menuju kepada sesuatu yang dibesarkan.[42]
Menurut Ahmad Jamil Alim dalam Panduan Ringkas Manasik Haji bahwa haji adalah beribadah kepada Allah dengan menziarahi Baitul Haram pada waktu tertentu dan dengan tata cara yang tertentu.
Menunaikan ibadah haji adalah bentuk ritual tahunan yang dilaksanakan kaum muslim sedunia yang mampu secara material, fisik, dan keilmuan dengan berkunjung dan melaksanakan beberapa kegiatan di beberapa tempat di Arab Saudi pada suatu waktu yang dikenal sebagai musim haji (bulan Dzulhijjah). Hal ini berbeda dengan ibadah umroh yang bisa dilaksanakan sewaktu-waktu.[43]
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa haji adalah mengunjungi Baitullah atau ka’bah yang wajib dilaksanakan oleh setiap mulsim yang mampu secara material, fisik maupun keilmuan, dilaksanakan pada bulan Dzulhijjah di tahun Hijriah dan merupakan rukun islam yang kelima.
Dalam pelaksanaanya, para ulama memperkenelkan tiga cara pelaksanaan haji [44]:
a.       Ifra>d, yakni mengerjakan haji lebih dahulu kemudian mengerjakan umrah.
b.      Tamattu’, yakni mengerjakan umrah lebih dahulu kemudian haji
c.       Qira>n, yakni mengerjakan haji dan umrah sekaligus dalam satu niat.
Para Ulama berbeda pendapat tentang mana diantara ketiga cara ini yang terbaik, hal ini antara lain diakibatkan oleh perbedaan   pendapat tentang cara Rasulullah melaksanakan haji.Imam Ma>lik menguatkan riwayat dari istri Nabi,’A>’isyah, yang mrnyatakan bahwa Rasulullah saw, melaksanakan haji dengan cara ifrad. ‘A>’isyah mengatakan,” kami keluar bersama Rasulullah saw(pada haji wada’) dan beliau bersabda, barangsiapa diantra kalian hendak melaksanakan haji dan umrah, maka silahkan. Barangsiapa henda melaksanakan haji(saja), maka silahkan. Barangsiapa hendak umrah(saja), maka silahkan.
‘A>’isyah mengatakan,’Rasulullah saw, melakukan haji(saja), dan ada beberapa orang bersama beliau. Ada yang melaksanakan haji dan umrah, dan ada juga yang melaksanakan umrah saja. Saya termasuk yang melaksanakan umrah (saja).[45]
Imam Ah}mad mengatakan,’saya tidak ragu bahwa haji Rasulullah adalah dengan cara qira>n. Akan tetapi, imam ini berpendapat bahwa haji sebaiknya dilaksanakan secara tamattu’ berdasarkan riwayat yang menyatakan bahwa Nabi saw bersabda,” seandainya yang telah lalu dapat kulakukan di masa datang, niscaya aku menjadikannya(hajiku) umrah dulu(dan baru melaksanakan haji).’[46]
Allah swt, mengundang seluruh manusia yang mampu, sekali seumur hidupnya agar berkunjung kerumah-Nya serta tempat-tempat tertentu, datang dengan tulus penuh pemahaman dan penghayatan, guna menyaksikan keagungan-Nya memperoleh ampunan dan Ridha-Nya serta meraih aneka manfaat duniawi dan ukhrawi.
 Karena itulah, maka ditetapkan sekian syarat bagi yang hendak melaksanakan ibadah haji[47]:
(a)Seorang Muslim, (b)berakal sehat, (c) bebas merdeka tanpa satu ikatan perbudakan, (d)berkemampuan, ini mencakup beberapa aspek, yakni kemampuan material yang diperoleh secara halal, tetapi bukan dengan menjual satu-satunya sumber penghasilan  atau menjual yang dapat mengakibatkan kesulitan hidup yang bersangkutan dan keluarganya, selanjutnya kemampuan fisik, yang tidak kurang pentingnya juga kemampuan ilmiah dan rohani (pelajarilah dengan saksama seluk beluk ibadah haji agar tidak melanggar ketentuannya), kemampuan yang lain juga berkaitan dengan keamanan dalam perjalanan, tempat yang dituju, serta tempat dan waktu pelaksanaan ibadah hingga kembali menemui keluarga,(e) biasanya perjalanan itu dilakukan, ini antara lain berarti bahwa seseorang yang merasa belum mempunya waktu yang sesuai untuk melaksanakan haji, maka ia boleh menangguhkan sampai keadaanya menjadi lebih sesuai, walau harus digaris bawahi bahwa sesorang tidak diperkenankan menunda-nunda tanpa alasan yang kuat, selain itu makna lain dari persyaratan ini adalah tersedianya kouta bagi yang bersangkutan.
Dalam ibadah haji, rukun adalah sesuatu yang apabila tidak dikerjakan sesuai ketentuanya, maka ibadah haji tidak sah. Rukun haji dalam pandangan mazhab Syafi’i adalah (a) Ihram,(b) Wukuf di ‘Arafah,(c) Thawaf al-Ifadhah,(d) Sa’i antara Shafa dan Marwah,(e)Tahallul,(f) Tertib.
Dalam ibadah haji atau umrah, wajib adalah sesuatu jika diabaikan, secara keseluruhan atau tidak memenuhi syaratnya maka haji tetap sah, tetapi orang yang bersangkutan harus melaksanakan sanksi(dam). Wajib haji adalah (a) berihram di Miqat,(b) berada dimuzhalifah setelah pertengahan malam walau sejenak,(c) berada di Mina pada malam hari-hari tasyriq,(d) melontar jamarat pada setiap hari-hari tasyriq,(e)menghindari apa yang diharamkan dalam konteks berihram[48].
C.  Dasar Hukum Ibadah Haji
Haji merupakan sebuah kewajiban yang ditetapkan berdasarkan al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma’. Dalam Al-Qur’an Allah berfirman :
فِيهِ ءَايَٰتُۢ بَيِّنَٰتٞ مَّقَامُ إِبۡرَٰهِيمَۖ وَمَن دَخَلَهُۥ كَانَ ءَامِنٗاۗ وَلِلَّهِ عَلَى ٱلنَّاسِ حِجُّ ٱلۡبَيۡتِ مَنِ ٱسۡتَطَاعَ إِلَيۡهِ سَبِيلٗاۚ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ ٱلۡعَٰلَمِينَ ٩٧
“Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam”(Q.S. Ali-Imran : 97)
Adapun Hadits : Ibadah haji hanya wajib dilaksanakan sekali semur hidup sebagaimana disebutkan dalam hadits: Abdullah bin Abbas r.a.meriwayatkan bahwa Rasulullah saw pernah berkhutbah, “Wahai manusia, telah diwajibkan ibadah haji atas kamu,” seorang bernama al-Aqra bin Habis bertanya,”Apakah setiap tahun wahai Rasulullah? Maka beliau menjawab,”Seandainya aku mengiyakan, niscaya diwajibkan atas kamu. Dan seandainya benar-benar diwajibkan (setiap tahunnya), niscaya kamu tidak akan mampu melakukannya.[49]
Adapun Ijma’, telah ada sejak era sahabat sampai hari ini, dimana mereka semua menyatakan bahwa haji merupakan kewajiban sekali seumur hidup atas setiap orang mampu.
D.  Undang-Undang Haji

Bab I : Ketentuan Umum[50]
            Pasal I : Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1.      Ibadah haji adalah rukun islam kelima yang merupakan kewajiban sekali seumur hidup bagi setiap orang islam yang mampu menunaikanya.
2.      Penyelenggaraan ibadah haji adalah rangkian kegiatan pengelolaan pelaksanaan ibadah haji yang meliputi pembinaan, pelayanan, dan perlindungan jemaah haji.
3.      Jemaah haji adalah warga negara Indonesia yang beragama islam  dan telah mendaftarkan diri untuk menunaikan ibadah haji sesuai dengan persyaratan yang ditetapakan.
4.      Warga negara adalah warga negara Indonesia.
5.      Pemerintah adalah Pemerintah Republik Indonesia.
6.      Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, yang selanjutnya disebut DPR, adalah Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam undang-undang dasar negara republik Indonesia tahun 1945.
7.      Komisi pengawasan haji Indonesia, yang selanjutnya disebut KPHI, adalah lembaga mandiri yang dibentuk untuk melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan ibadah haji.
8.      Biaya penyelenggaraan ibadah haji, yang selanjutnya disebut BPIH, adalah sejumlah dana yang harus dibayar oleh warga negara yang akan menunaikan ibadah haji.
9.      Pembinaan ibadah haji adalah serangkian yang meliputi penyuluhan dan pembimbingan bagi jemaah haji.
10.  Pelayanan kesehatan dan pemeriksaan, perawatan, dan pemeliharaan kesehatan jamaah haji.
11.  Paspor haji adalah dokumen perjalanan resmi yang diberikan kepada jemaah haji untuk menunaikan ibadah haji.
12.  Akomodasi adalah perumahan dan pemondokan yang disediakan bagi jamaah haji selama di embarkasi atau didebarkasi dan diArab Saudi.
13. Transportasi adalah pengangkutan yang disediakan bagi   Jemaah Haji selamaPenyelenggaraan Ibadah Haji.
14.  Penyelenggaraan Ibadah Haji Khus us adalah   Penyelenggaraan Ibadah Haji yang pengelolaan,  pembiayaan, dan pelayanannya bersifat khusus.
15.Penyelenggara Ibadah Haji Khusus adalah pihak yang   menyelenggarakan ibadah haji yang pengelolaan,  pembiayaan, dan pelayanannya bersifat khusus.
16.  Ibadah Umrah adalah umrah yang dilaksanakan di luar   musim haji.
17.  Dana Abadi Umat, yang selanjutnya disebut DAU,  hádala  sejumlah dana yang diperoleh dari hasil pengembangan   Dana Abadi Umat dan/atau sisa biaya operasional Penyelenggaraan Ibadah Haji serta sumber lain y ang  halal dan tidak mengikat.
18. Badan Pengelola Dana Abadi Umat, yang selanjutnya  disebut BP DAU, adalah badan untuk menghimpun,   mengelola, dan mengembangkan Dana Abadi Umat.
19. Menteri adalah Menteri yang ruang lingkup tugas dan   tanggung jawabnya di bidang agama.


Bab II : Asas dan Tujuan
       Pasal 2: Penyelenggaraan ibadah haji dilaksanakan berdasarkan asas keadilan profesional, dan akuntabilitas dengan prinsip nirlaba.
Yang dimaksud pasal 2 ini, asas keadilan adalah bahwa penyeleggaraan ibadah haji berpegang pada kebenaran, tidak berat sebelah, tidak memihak, dan tidak sewenang-wenang dalam penyelenggaraan ibadah haji. Asas profesional adalah bahwa penyelenggaraan ibadah haji harus dilaksanakan dengan mempertimbangkan keahlian para penyelenggaranya. Sedangkan asas akuntabilitas dengan prinsip nirbala adalah bahwa penyelenggaraan ibadah haji dilakukan secara terbuka dan dapat dipertanggung jawabkan secara etik dan hukum dengan prinsip tidak untuk mencari keuntungan.[51]
       Pasal 3 : Penyelenggaraan ibadah haji bertujuan untuk memberikan pembinaan, pelayanan, dan perlindungan yang sebaik-baiknya bagi jemaah haji sehingga jemaah haji dapat menunaikan ibadahnya sesuai dengan ketentuan ajaran agama islam.

Bab III : Bagian pertama : Hak dan Kewajiban
       Pasal 4[52] :
1.      Setiap warga negara yang beragama islam berhak untuk menunaikan ibadah haji dengan syarat :
a.       Berusia paling rendah 18 tahun atau  sudah menikah; dan
b.      Mampu membayar BPIH
2.      Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan sebagaimana maksud pada ayat satu diatur dengan peraturan menteri.
Pasal 5 : Setiap Warga Negara yang akan menunaikan Ibadah Haji  berkewajiban sebagai berikut:
a. mendaftarkan diri kepada Panitia Penyelenggara Ibadah  Haji kantor  Departemen Agama  kabupaten/kota setempat;
b.  membayar BPIH yang disetorkan melalui bank penerima setoran; dan
c.  memenuhi dan mematuhi persyaratan dan ketentuan   yang berlaku dalam Penyelenggaraan Ibadah Haji.
Bagian Kedua : Kewajiban Pemerintah
Pasal 6:Pemerintah berkewajiban melakukan pembinaan,   pelayanan, dan perlindungan dengan menyediakan layanan  administrasi, bimbingan Ibadah Haji, Akomodasi,  Transportasi, Pelayanan Kesehatan, keamanan, dan hal - hal   lain yang diperlukan oleh Jemaah Haji.
Bagian Ketiga : Hak Jemaah Haji
Pasal 7:Jemaah Haji berhak memperoleh pembinaan, pelayanan,   dan perlindungan dalam menjalankan Ibadah Haji, yang  meliputi:
a.  pembimbingan manasik haji dan/atau materi lainnya,  baik di tanah air, di perjalanan, maupun di Arab Saudi;
b.  pelayanan Akomodasi, konsumsi, Transportasi, dan   Pelayanan Kesehatan yang memadai, baik di tanah air, selamadi perjalanan, maupun di Arab Saudi;
c.  perlindungan sebagai Warga Negara Indonesia;
d.  penggunaan Paspor Haji dan dokumen lainnya yang   diperlukan untuk pelaksanaan Ibadah Haji; dan
e.  pemberian kenyamanan Transportasi dan pemondokan   selama di tanah air, di Arab Saudi, dan saat kepulangan  ke tanah air.
Yang dimaksud dengan “kenyamanan” dihuruf (e) adalah tersedianya transportasi dan pemondokan yang layak dan manusiawi.[53]
Bab IV : Pengorganisasian
Pasal 8 :
(1)   Penyelenggaraan Ibadah Haji meliputi unsur kebijakan,   pelaksanaan, danpengawasan.
(2) Kebijakan dan pelaksanaan dalam Penyelenggaraan   Ibadah Haji merupakan tugas nasional dan menjadi  tanggung jawab Pemerintah.
(3)   Dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab  sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri   mengoordinasikannya dan/atau bekerja sama dengan   masyarakat, departemen/instansi terkait, dan  Pemerintah Kerajaan Arab Saudi.
(4) Pelaksanaan dalam Penyelenggaraan Ibadah Haji   sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat.
(5)   Dalam rangka pelaksanaan Penyelenggaraan Ibadah   Haji sebagaimana dimaksud pada ayat (4) Pemerintah   membentuk satuan kerja di bawah Menteri.
(6) Pengawasan Penyelenggaraan Ibadah Haji merupakan   tugas dan t anggung jawab KPHI.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan dan  pelaksanaan dalam Penyelenggaraan Ibadah Haji   sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan   Peraturan Pemerintah.
Yang dimaksud “satuan kerja dibawah menteri” pada ayat 5 adalah satuan kerja yang mendukung operasional penyelenggaraan ibadah haji yang bersifat permanen dan sistematik ditingkat pusat, ditingkat daerah, dan di Arab Saudi.

Pasal 9:
Penyelenggaraan Ibadah Haji dikoordinasi oleh:(a)Menteri di tingkat pusat;
(b)gubernur di tingkat provinsi;(c)bupati/wali kota di tingkat kabupaten/kota; dan(d)Kepala Perwakilan Republik Indonesia untuk Kerajaan Arab Saudi.
Yang dimaksud “Kepala Perwakilan Republik Indonesia untuk Kerajaan Arab Saudi” adalah Duta Besar Republik Indonesia untuk kerajaan Arab Saudi dan konsultan Jendral Republik Indonesia di Jeddah.
Bagian kedua: Panitia Penyelenggara Ibadah Haji
Pasal 11:
(1) Menteri membentuk Panitia Penyelenggara Ibadah Haji   di tingkat pusat, di daerah yang memiliki embarkasi, dan di Arab Saudi.
(2) Dalam rangka Penyelenggaraan Ibadah Haji,Menteri  menunjuk petugas yang
menyertai Jemaah Haji, yang terdiri atas:
a.  Tim Pemandu Haji Indonesia (TPHI);
b.  Tim Pembimbing Ibadah Haji Indonesia (TPIHI); dan
c.  Tim Kesehatan Haji Indonesia (TKHI).
(3)   Gubernur atau bupati/wali kota dapat mengangkat  petugas yang  menyertai Jemaah Haji, yang terdiri atas:
a.  Tim Pemandu Haji Daerah (TPHD); dan
b.  Tim Kesehatan Haji Daerah (TKHD).
(4) Biaya operasional Panitia Penyelenggara Ibadah Haji   dan petugas operasional pusat dan daerah dibebankan  pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Neg ara dan   Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
(5)   Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan  mekanisme pengangkatan petugas sebagaimana  dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan  Peraturan Menteri.

Bab V : Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji
Pasal 21:
(1)   Besaran BPIH ditetapkan oleh Presiden atas usul   Menteri setelah mendapat persetujuan DPR.
(2) BPIH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan   untuk keperluan biayaPenyelenggaraan Ibadah Haji.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan BPIH diatur dengan Peraturan Menteri.
Yang dimaksud ayat 3 adalah pengelolaan BPIH dilakukan bardasarkan siklus penyelenggaraan ibadah haji sesuai dengan kalender hijriah.
Pasal 22:
(1) BPIH disetorkan ke rekening Menteri melalui bank  syariah dan/atau bank umum nasional yang ditunjuk  oleh Menteri.
(2) Penerimaan setoran BPIH sebagaimana dimaksud pada  ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan ketentuan  kuota yang telah ditetapkan.
Bab VI : Pendaftaran dan Kuota
Pasal 26:
(1) Pendaftaran Jemaah Haji dilakukan di Panitia   Penyelenggara Ibadah  Haji dengan mengikuti prosedur dan memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan. 
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur dan   persyaratan pendaftaran diatur dengan Peraturan   Menteri.
Bab VII: Pembinaan
Pasal 29
(1) Dalam rangka Pembinaan Ibadah Haji, Menteri   menetapkan:
a.  mekanisme dan prosedur Pembinaan Ibadah Haji; dan
b.  pedoman pembinaan, tuntunan manasik, dan  p anduan perjalanan Ibadah Haji.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)   dilakukan tanpa memungut biaya tambahan dari  Jemaah Haji di luar BPIH yang telah ditetapkan.
Bab VIII : Kesehatan
Pasal 31:
(1) Pembinaan dan Pelayanan Kesehatan Ibadah Haji, baik   pada saat persiapan maupun pelaksanaan Penyelenggaraan Ibadah Haji, dilakukan oleh menteri   yang ruanglingkup tugas dan tanggung jawabnya di  bidang kesehatan.
(2) Pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikoordinasi oleh Menteri.
Bab IX : Keimigrasian
Pasal 32:
(1)   Setiap Warga Negara yang akan menunaikan Ibadah   Haji menggunakan Paspor Haji yang dikeluarkan oleh  Menteri.
(2) Menteri dapat menunjuk pejabat untuk dan/atau atas  namanya menandatangani Paspor Haji.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengecualian  ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Bab X : Transportasi
Pasal 33:
(1)   Pelayanan Transportasi Jemaah Haji ke Arab Saudi dan   pemulangannya ke tempat embarkasi asal di Indonesia  menjadi tanggung jawab Menteri dan berkoordinasi dengan menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggung   jawabnya di bidang perhubungan.
(2)   Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas  sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan  Peraturan Pemerintah.
Bab XI: Akomodasi
Pasal 37:
(1)   Menteri wajib  menyediakan Akomodasi bagi Jemaah   Haji tanpa memungut biaya tambahan dari Jemaah   Haji di luar BPIH yang telah ditetapkan.
(2)Akomodasi bagi Jemaah Haji harus memenuhi  estándar  kelayakan denganmemperhatikan aspek kesehatan,  keamanan, kenyamanan, dan kemudahan Jemaah Haji beserta barang bawaannya.
(3)Ketentuan lebih lanjut mengenai penyediaan Akomodasi  bagi Jemaah Haji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Bab XII : Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus
Pasal 38:
(1)   Dalam rangka Penyelenggaraan Ibadah Haji bagi   masyarakat yang membutuhkan pelayanan khusus,  dapat diselenggarakan Ibadah Haji Khusus yang   pengelolaan dan pembiayaannya bersifat khusus.
(2)   Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus dilaksanakan oleh   Penyelenggara Ibadah Haji Khusus yang telah mendapat  izin dari Menteri.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksana  Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus sebagaimana  dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan   Menteri.
Pasal 40:Penyelenggara Ibadah Haji Khusus wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a.       menerima pendaftaran dan melayani Jemaah Haji   hanya yang menggunakan Paspor Haji;
b.    memberikan bimbingan Ibadah Haji;
c.    memberikan layanan Akomodasi, konsumsi,  Transportasi, dan Pelayanan Kesehatan secara khusus;  dan
d.    memberangkatkan, memulangkan, dan melayani  Jemaah Haji sesuai dengan perjanjian yang disepakati  antara penyelenggara dan Jemaah Haji
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji

Pada tahun 2009, pemerintah melakukan pengganti undang-undang tentang perubahan atas undang-undang no 13 tahun 2008 tentang penyelenggaraan ibadah haji, dengan pertimbangan sebagai berikut[54]:
a.       bahwa dengan adanya kewajiban bagi setiap jamaah haji Indonesia untuk menggunakan paspor biasa mulai tahun 1430 H, diperlukan upaya untuk menjamin agar penyelenggaraan ibadah haji dapat dilaksanakan.
b.      Bahwa dalam rangka menjamin terlaksananya penyelenggaraan ibadah haji perlu melakukan perubahan ketentuan mengenai paspor haji bagi jamaah haji sebagaimana diatur dalam undang-undang 13 tahun 2008 tentang penyelenggaraan ibadah haji.
c.       Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana diamksud dalam huruf a dan b, perlu menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang tentang perubahan atas undang-undang nomor 13 tahun 2008 tentang penyelenggaraan ibadah haji.

Dengan memutuskan dan menetapakan :
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam undang-undang nomor 13 tahun 2008 tentang penyelenggaraan ibadah haji ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4845), diubah sebagai berikut:

1.      Ketentuan Pasal 1 angka 11 di hapus
2.      Ketentuan Pasal 7 huruf d diubah, sehingga Pasal 7 seluruhnya berbunyi sebagai berikut:

Pasal 7
Jamaah haji berhak memperoleh pembinaan, pelayanan, dan perlindungan dalam menjalankan ibadah haji, yang meliputi :
a.       Pembimbingan manasik haji dan/atau materi lainya, baik di tanah air, diperjalanan, maupun di Arab Saudi.
b.      Pelayanan akomodasi, konsumsi, transportasi, dan pelayanan kesehatan yang memadai, baik ditanah air, selama diperjalanan, maupun di Arab Saudi.
c.       Perlindungan sebagai warga negara Indonesia.
d.      Penggunaan paspor biasa dan dokumen lainya yang diperlukan untuk pelaksanaan ibadah haji; dan
e.       Pemberian kenyamanan transportasi dan pemondokan selama di Tanah Air, di Arab Saudi, dan saat kepulangan ke Tanah Air.

3.      Ketentuan Pasal 32 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut :

Pasal 32
Setiap warga negara Indonesia yang menunaikan ibadah haji menggunakan paspor biasa yang dikeluarkan oleh menteri yang membidangi urusan keimigrasian.
4.      Ketentuan Pasal 40 huruf a diubah, sehingga Pasal 40 selurunya berbunyi sebagai berikut:

Pasal 40
Penyelenggaraan ibadah haji khusus wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a.       Menerima pendaftaran dan melayani jemaah haji khusus yang telah terdaftar sebagai jamaah haji;
b.      Memberikan bimbingan ibadah haji;
c.       Memberikan layanan akomodasi, konsumsi, transportasi, dan pelayanan kesehatan secara khusus; dan
d.      Memberangkatkan, memulangkan, melayani jamaah haji sesuai dengan perjanjian yang disepakati antara penyelenggara dan jamaah haji.

Kesimpulan
Ibadah haji merupakan salah satu ibadah yang wajib dilakukan oleh setiap muslim bilamana mampu, dan termasuk rukun islam yang kelima. Dalam hal pelaksanaannya, tidaklah mudah, contohnya saja Indonesia, polemik dan permasalahan permasalahan tentang haji sangat sporadis dan komplikatif. Dari mulai kuota, biaya perjalanan atau yang sering kita sebut dengan ONH sampai pelayanan haji di Indonesia maupun di Arab Saudi Makkah yang menjadi tempat pelaksanaanya.
Permasalahan dalam penyelenggaraan haji dari tahun ke tahun, menuntut lahirnya sistem manajemen yang mampu mengakses segenap fungsi-fungsi manajerial seperti, perencanaan, pengorganisasian, pengkoordinasian, serta adanya pengawasan guna mencapai penyelenggaraan haji yang aman, lancar, aman, tertib, teratur dan ekonomis. Maka untuk menyelesaikan hal itu pemerintah selalu berusaha meningkatkan penyelenggaraan maupun pelayanan ibadah haji dari tahun ke tahun terbukti dengan adanya regulasi-regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah, walaupun hasilnya masih jauh dari apa yang kita inginkan.
Regulasi tersebut dikeluarkan untuk menjadi pijakan dan aturan penyelenggaraan ibadah haji. Dalam hal pelayanan haji ada hal-hal yang perlu diperhatikan yaitu berupa: transportasi, pemondokan, pelayanan kesehatan, keamanan dan lain-lain, yang membutuhkan profesionalisme seorang petugas haji. Hal inilah yang sering menjadi sorotan masyarakat atas kesuksesan penyelenggaraan ibadah haji, juga akan sangat berpengaruh terhadap citra Departemen Agama sebagai penyelenggara ibadah haji tersebut.
















DAFTAR PUSTAKA

Ash Shiddieqy, Prof.Dr TM hasbi. Pedoman Haji, (Jakarta: Bulan Bintang 1983).
Al-Ainaini Badra>n,Abu Badra>n Ahka>m al-Washa>ya wa al-Auqa>, (Iskandariyah:Mu’assasah syaba>b al-Ja>miah, 1982).
Abouseif, Doris Behrens. “waqf in the Arab Lands” The Encyclopaedia Islam,( leiden:Brill 2002).
Amin ibn Abidin, Muhammad, Ha>syiyah Rad al-Mukhta>r, (Beriut: Da>r al-Fikr,1992), juz IV.
al-Maltha>wi, Hasan Ka>mil . Fiqh al-Mua>mala>t ‘ala-Madzhab al-Ima>m Ma>lik,(ttp:Al-Majlis al-A’la li al-Su’an al-Isla>miyah lajnah al-Ta’rif bi al-Islam,tth).
Andi Agung Prihatna, Filantropi dan keadilan sosial di Indonesia, dalam Revitalisasi Filantropi Islam: Studi kasus lembaga zakat dan wakaf di Indonesia,ed. Chaider S.Bamualim dan Irfan Abu Bakar (Jakarta: Pusat Budaya dan Bahasa UIN Jakarta, 2005 ).
Al-Jaziri, Kitab al-Fiqh.
Abu al-Fara>j Husain, ahka>m al-washa>ya wa al-Auqa>f fi Syari>ah al-Isla>miyah,(Iskandariyah: Da>r al-Mathbua>t al-Ja>miah,1997).
Achmad Djunaidi dan Thobieb al-Asyhar,  Era Wakaf Produktif Sebuah Upaya Progresif Untuk Kesejahteraan Umat, Cet. 3, Jakarta: Mitra Abadi Press, 2006.
Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad Al-Mughni,( Riya>dh:Maktabah bin Quda>rnah, al-
Dr. Mardani, Hukum Islam, (Kencana Prenadamedia Group. Jakarta, 2013).
Dr. ZakiaDarajat, Haji Ibadah yang Unik.
Departemen Agama,  Proses Lahirnya Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf, Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf DirektoratJenderal Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama, 2006.
Edi Auliya Rakhman,Efektifitas Undang-undang no.17 tahun1999 tentang penyelenggaraan ibadah haji dalam memberikan perlindungan hukum kepada konsumen haji, Universitas Diponogoro Semarang. 2004).
Laporan Akhir Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia
M. Quraish Shihab, Haji dan Umrah, ( Lentera Hati, tangerang:2012).
M.Quraish Shihab, 1001 soal keislaman yang patut anda ketahui. ( lentera hati, Tangerang).
Praja Juhaya S, Perwakafan di Indonesia, ( Bandung: Yayasan Piara, 1995).
Syamsuddin Muhammad bin Abi al-Abbas Ahmad bin Hamzah ibn Syihabuddin al-Ramli al-Manufi al-Anshari al-Sya>fi’i al-Shaghir, Niha>yah al-Muhta>j ila syarh al-Minha>j fi al-Fiqh ‘ala Madzhab al-Ima>m al-Sya>fi’i, (Riya>dh: Musthafa>al-Ba>by al- Halaby wa auladih, 1938), juz V.
Tim penulis, Proses Lahirnya Undang-undang Wakaf,( Jakarta:Derektorat Pemberdayaan Wakaf Depag, 2006).
Tuti A Najib dan Ridwan al-Makassary, wakaf, Tuhan dan Agenda Kemanusiaan, studi tentang wakaf dalam perspektif keadilan sosial di Indonesia(Jakarta:CSRC UIN Syarif Hidayatullah,2006).
undang-undang Republik Indonesia nomor 13 tahun 2008, bagian kesatu: Hak dan Kewajiban warga negara
Undang-undang Republik Indonesia no 41 tahun 2004, tentang wakaf.
Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Isla>my wa Adillatuh,(Damaskus:Da>r al-Fikr, 1989), cet.ke 3, juz VIII.



[1] QS 90 : 12-20
[2] Andi Agung Prihatna, Filantropi dan keadilan sosial di Indonesia, dalam Revitalisasi Filantropi Islam: Studi kasus lembaga zakat dan wakaf di Indonesia,ed. Chaider S.Bamualim dan Irfan Abu Bakar (Jakarta: Pusat Budaya dan Bahasa UIN Jakarta, 2005 ), 4-5
[3] Praja Juhaya S, Perwakafan di Indonesia, ( Bandung: Yayasan Piara, 1995) hlm:9
[4] Tuti A Najib dan Ridwan al-Makassary, wakaf, Tuhan dan Agenda Kemanusiaan, studi tentang wakaf dalam perspektif keadilan sosial di Indonesia(Jakarta:CSRC UIN Syarif Hidayatullah,2006), hlm: 33
[5] Doris Behrens Abouseif, “waqf in the Arab Lands” The Encyclopaedia Islam,( leiden:Brill 2002), 11:64
[6] Tim penulis, Proses Lahirnya Undang-undang Wakaf,( Jakarta:Derektorat Pemberdayaan Wakaf Depag, 2006)
[7] Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Isla>my wa Adillatuh,(Damaskus:Da>r al-Fikr, 1989), cet.ke 3, juz VIII, hlm : 153.
[8] Muhammad Amin ibn Abidin, Ha>syiyah Rad al-Mukhta>r, (Beriut: Da>r al-Fikr,1992), juz IV, hlm :337
[9] Hasan Ka>mil al-Maltha>wi, Fiqh al-Mua>mala>t ‘ala-Madzhab al-Ima>m Ma>lik,(ttp:Al-Majlis al-A’la li al-Su’an al-Isla>miyah lajnah al-Ta’rif bi al-Islam,tth),hlm:203
[10] Syamsuddin Muhammad bin Abi al-Abbas Ahmad bin Hamzah ibn Syihabuddin al-Ramli al-Manufi al-Anshari al-Sya>fi’i al-Shaghir, Niha>yah al-Muhta>j ila syarh al-Minha>j fi al-Fiqh ‘ala Madzhab al-Ima>m al-Sya>fi’i, (Riya>dh: Musthafa> al-Ba>by al- Halaby wa auladih, 1938), juz V, hlm: 355
[11] Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad Al-Mughni,( Riya>dh:Maktabah bin Quda>rnah, al-Riya>dh al- Hadi>tsah)  hlm:597
[12] Abu al-Fara>j Husain, ahka>m al-washa>ya wa al-Auqa>f fi Syari>ah al-Isla>miyah,(Iskandariyah: Da>r al-Mathbua>t al-Ja>miah,1997) hlm:240
[13] Badra>n Abu Al-Ainaini Badra>n, Ahka>m al-Washa>ya wa al-Auqa>, (Iskandariyah:Mu’assasah syaba>b al-Ja>miah, 1982) hlm:273
[14] Departemen Agama,  Proses Lahirnya Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang
Wakaf, Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf DirektoratJenderal Bimbingan Masyarakat Islam
Departemen Agama, 2006, hlm. 37.
[15] Achmad Djunaidi dan Thobieb al-Asyhar,  Era Wakaf Produktif Sebuah Upaya Progresif Untuk Kesejahteraan Umat, Cet. 3, Jakarta: Mitra Abadi Press, 2006, hlm. 89
[16] Undang-undang Republik Indonesia no 41 tahun 2004, tentang wakaf, pasal 1
[17] Undang-undang Republik Indonesia no 41 tahun 2004, tentang wakaf, bab II
[18] Lihat undang-undang wakaf pasal 8 ayat (1)
[19] Lihat undang-undang wakaf pasal 8 ayat (2)          
[20] Lihat undang-undang wakaf pasal 8 ayat (3)
[21] Dr. Mardani, Hukum Islam, (Kencana Prenadamedia Group. Jakarta, 2013) hlm : 597
[22] Lihat undang-undang wakaf pasal 9 dan 10
[23] Dr. Mardani, Hukum Islam, (Kencana Prenadamedia Group. Jakarta, 2013) hlm : 598
[24] Dr. Mardani, Hukum Islam, (Kencana Prenadamedia Group. Jakarta, 2013) hlm : 598
[25] Dr. Mardani, Hukum Islam, (Kencana Prenadamedia Group. Jakarta, 2013) hlm : 599
[26] Lihat undang-undang wakaf pasal 20
[27] Dr. Mardani, Hukum Islam, (Kencana Prenadamedia Group. Jakarta, 2013) hlm : 599
[28] Lihat undang-undang wakaf pasal 28
[29]Dr . Mardani, Hukum Islam, (Kencana Prenadamedia Group. Jakarta, 2013) hlm :600
[30]Dr. Mardani, Hukum Islam, (Kencana Prenadamedia Group. Jakarta, 2013) hlm :600
[31] Dr. Mardani, Hukum Islam, (Kencana Prenadamedia Group. Jakarta, 2013) hlm :600
[32] Dr. Mardani, Hukum Islam, (Kencana Prenadamedia Group. Jakarta, 2013) hlm :601
[33] Lihat undang-undang wakaf pasal 42
[34] M. Quraish Shihab, Haji dan Umrah, ( Lentera Hati, tangerang:2012) hlm:6
[35] ucapan ini menunjukkan bahwa sikap mereka diatas bukan lahir atas dorongan kebebasan seks dan “buka-bukaan” tetapi atas dasar kepercayaan mereka yang sudah bodoh dan sesat.
[36] Thawaf tanpa busana itulah antara lain yang menjadikan Nabi saw enggan melaksanakan ibadah haji kendati ibadah tersebut telah diwajibkan pada tahun ke-9 dan beliau baru melaksanakannya pada tahun ke-10 H.
[37] Dr. ZakiaDarajat, Haji Ibadah yang Unik, hal. 11
[38] Laporan Akhir Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia
[39] Edi Auliya Rakhman,Efektifitas Undang-undang no.17 tahun1999 tentang penyelenggaraan ibadah haji dalam memberikan perlindungan hukum kepada konsumen haji, Universitas Diponogoro Semarang. 2004) hlm:31
[40] Edi Auliya Rakhman,Efektifitas Undang-undang no.17 tahun1999 tentang penyelenggaraan ibadah haji dalam memberikan perlindungan hukum kepada konsumen haji, Universitas Diponogoro Semarang. 2004) hlm:32
[41] Pada tahun 1912, para ulama mencoba untuk melepaskan diri dari penjajahan melalui metode penekanan dengan peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial, termasuk aturan menyangkut ibadah. Disini nampak jelas bahwa penyelengaraan ibadah haji pada masa kolonial tidak dapat dilepaskan dari tujuan-tujuan politis. Pemerintah menjadikan pengaturan ibadah haji sebagai kumuflase dalam melakukan intervensi kedalam urusan keagamaan rakyat dan sebagai upaya menarik perhatian masyarakat untuk mendukung kebijakan pemerintah kolonial. Pada tahun 1922, pemerintah kolonial mengeluarkan aturan agar setiap calon jamaah haji diharuskan membeli kercis kapal laut pergi pulang ketanah air.
[42] Prof. Dr.  TM hasbi Ash Shiddieqy. Pedoman Haji, (Jakarta: Bulan Bintang 1983) hlm:16
[43] Prof. Dr.  TM hasbi Ash Shiddieqy. Pedoman Haji, (Jakarta: Bulan Bintang 1983) hlm:16
[44] M.Quraish Shihab, 1001 soal keislaman yang patut anda ketahui. ( lentera hati, Tangerang) hlm : 231
[45] M.Quraish Shihab, 1001 soal keislaman yang patut anda ketahui. ( lentera hati, Tangerang) hlm : 231
[46] M.Quraish Shihab, 1001 soal keislaman yang patut anda ketahui. ( lentera hati, Tangerang) hlm : 231
[47] M. Quraish Shihab, Haji dan Umrah, ( Lentera Hati, tangerang:2012) hlm:219
[48] M. Quraish Shihab, Haji dan Umrah, ( Lentera Hati, tangerang:2012) hlm:242
[49]Al-Jaziri, Kitab al-Fiqh, hlm 324.
[50] Undang-undang Republik Indonesia nomor 13 tahun 2008, tentang penyelenggaraan ibadah haji
[51] Dr. Mardani, Hukum Islam, (Kencana Prenadamedia Group. Jakarta, 2013) hlm : 437
[52] Lihat undang-undang Republik Indonesia nomor 13 tahun 2008, bagian kesatu: Hak dan Kewajiban warga negara
[53] Dr. Mardani, Hukum Islam, (Kencana Prenadamedia Group. Jakarta, 2013) hlm :438
[54] Dr. Mardani, Hukum Islam, (Kencana Prenadamedia Group. Jakarta, 2013) hlm:446

Tidak ada komentar:

Posting Komentar