UNDANG-UNDANG
WAKAF DI INDONESIA
A. PENDAHULUAN
Masyarakat
Islam Indonesia memahami filantropi sebagai esensi ajaran keagamaan. Karenanya
dapat dikatakan bahwa aktivitas filantropi Islam selalu tumbuh subur di tengah
tumbuh berkembangnya komunitas-komunitas Muslim di tanah air. Konsep filantropi
Islam didasari oleh sesuatu pandangan dunia Qur’ani tentang hakikat manusia
sebagai hamba sekaligus khalifah Tuhan dimuka bumi. Didalam diri manusia
terkandung suatu potensi pengetahuan kreatif serta kecondongan kepada kebajikan
moral, bahkan melebihi kualitas malaikat sekalipun. Namun disisi lain, manusia
juga memiliki berbagai kelemahan mendasar berupa ketidakmampuan melihat akibat
jangka panjang dari tindakanya.oleh karenya potensi kemanusiaan dapat saja
tergius habis. Konsep filantropi dalam islam berpijak kuat diatas sebuah
pradigma bahwa martabat manusia sebagai sesuatu yang sangat penting untuk
dipelihara dan bahkan diperjuangkan. Tindakan filantropi merupakan ujian
keimanan yang arus dipertimbangakan sungguh-sungguh oleh setiap mukmin yang
mengharapkan keselamatan dunia dan akhirat.[1]
Dengan
demikian, filantropi dalam islam merupakan suatu bentuk kebajikan hakiki yang
terwujud dalam berbagai sikap dan tindakan yang mendatangkan kebajikan dan
kemaslahatan manusia lainya. Dewasa ini, filantropi memiliki sejumlah tujuan
yang tidak semata-mata bersifat keagamaan, tetapi juga bersifat sosial, dengan
keyakinan bahwa memberikan layanan beban kemiskinan masyarakat dapat dikurangi
atau bahkan dihilangkan. Sementara itu ada juga lembaga filantropi yang
bergerak dalam perubahan sosial dengan menjadikan keadilan sosial sebagai
tujuan utamanya.[2]
Dengan demikian
bentuk-bentuk filantropi terus berkembang dari waktu kewaktu dan dewasa ini
memperoleh perhatian yang luas tidak hanya dari kalangan ahli agama, tetapi
juga negara, diantaranya: shadaqah, zakat dan wakaf. Namun dimakalah ini akan
dibahas tentang wakaf.
Pelaksanaan
wakaf telah dimulai sejak masa Rasulullah, hal ini dapat diketahui dari
hadits Ibn Umar tentang tanah khaibar.[3]
Namun pelembagaan wakaf gencar dilakukan pada paruh kedua abad ke-8 M pada saat
perumusan sistem hukum islam dalam kerangka mazhab fiqih mulai mapan. Disatu
sisi, pelembagaan wakaf melibatkan formulasi tentang administrasi wakaf menurut
prinsip-prinsip syari’ah. Disisi lain,proses ini melibatkan praktik pengawasan
yang dijalankan oleh negara. Perumusan administrasi wakaf dalam kerangka fiqih
dilakukan oleh para imam mazhab yang bekerja secara relatif otonom dari
kekuasaan negara, sedangkan pengawasan administrasi wakaf dijalankan oleh
hakim(qadi) yang merupakan bagian dari aparat pemerintah yang berkuasa.[4]
Pengawasaan
administrasi wakaf sesungguhnya telah mulai pada masa umayyah( abad ke-7 dan
paruh pertama abad ke-8). Fungsinya untuk mengawasi distribusi hasil wakaf
serta kemungkinan penyalahgunaan wakaf oleh nadzir. Untuk tujuan ini pemerintah
umayyah membentuk semacam dewan wakaf(dewan al-ahbas). Fungsi dewan ini pada
masa itu hanya sebatas pada pencatatan ikrar wakaf yang dilakukan oleh wakif
dalam dokumentasi yang dikenal dengan waqfiyya atau rasm al-tahbis.
Sebelum akhir
abad ke-10, admistrasi wakaf tidak dilakukan secara terpusat, melainkan
dikelola secara relatif indefenden oleh para nadzir dibawah pengawasan qadi
setempat. Namun pada masa khalifah al-Mu’izz(974 M) dari dinasti Fathimiya,
admistrasi wakaf mulai dipusatkan dengan cara memindahkan dana wakaf dari dewan
wakaf ke bayt al-Mal (semacam kas negara), dan penerima harus membuktikan
klaimnya sebagai penerima. Dengan dana-dana ini pemerintah fathimiyah bisa
membantu semua jenis lembaga filantropi yang ada, khususnya yang asetnya telah
habis.[5]
Di Indonesia,
setelah melalui proses yang panjang dalam rapat paripurna DPR RI untuk
mengambil keputusan RUU wakaf yang berlansung pada tanggal 28 september 2004,
akhirnya RUU tentang wakaf disetujui menjadi undang-undang.[6]
Kehadiran
undang-undang wakaf agar dapat memenuhi kebutuhan perubahan zaman, agar
lembaga-lembaga filantropi islam dapat tumbuh secara dinamis. Harapan umat
islam Indonesia akan sepakat hukum filantropi islam sangatlah besar. Keinginan
yang kuat ini tidak berdiri sendiri, melainkan dibentuk konteks sosial-ekonomi,
dan politik yang berubah. Disamping itu, dengan disahnya undang-undang ini,
objek wakaf lebih luas cakupanya tidak hanya sebatas benda tidak bergerak saja,
tapi juga meliputi benda bergerak seperti uang, surat berharga, hak sewa dan
sebagainya. Negara juga dapat berperan, meski dalam ruang lingkup yang khas dan
terbatas.
B.
Pengertian
Wakaf
1.
Etimologi Wakaf
Dalam literatur fiqih wakaf terkadang menggunakan kata sinonim,
diantaranya al-tahbi>s, al-tasbi>l, shadaqah. Kata ini
mempunyai makna yang sama, yaitu wakaf. Pengertian wakaf dari sudut etimologi adalah {الحبس عن التصرف}, yaitu menahan dari penggunaan.[7]
2.
Terminologi
Wakaf
Menurut madzhab Ima>m Abu Hani>fah, “wakaf adalah menahan suatu benda
di dalam hak milik pewakaf dan mendermakan manfaat barang itu pada jalan
kebaikan”.[8]
Madzhab Ima>m Ma>lik mendefinisikan bahwa “wakaf adalah pemberian manfaat dengan jalan
wakaf untuk selama-lamanya, menurut suatu pendapat, yang benar adalah boleh
secara mutlak mewakafkan benda untuk selamanya atau terbatas oleh waktu”.[9]
Wakaf menurut madzhab Ima>m al-Sya>fi’i adalah “Menahan suatu benda yang
mungkin dapat dimanfaatkan, sementara pokonya tetap tidak hilang kerena diambil
kegunaan dan manfaatnya sepanjang penggunaaan ini dibolehkan menurut hukum.”[10]
Sedangkan menurut Madzhab Ima>m Ahmad bin
Hambal, “wakaf adalah Menahan pokok benda dan menggunakan manfaatnya.”[11]
Dari beberapa termenologi wakaf yang dikemukan ulama, terdapat
beberapa unsur persamaan dan unsur perbedaan. Unsur persamaanya adalah:
1.
Perubahan status kepemilikan menjadi
benda yang diwakafkan.
2.
Manfaat yang diambil adalah hasil
yang diperoleh dari benda wakaf.
3.
Wakaf ditunjukan untuk kebajikan
atau kepentingan agama.
4.
Benda yang diwakafkan bernilai
ekonomis dan tahan lama.
Sedangkan
unsur perbedaanya adalah persepsi masing-masing madzhab tentang wakaf.
Madzhab
Ima>m Hanafi
menekankan wakaf pada manfaat yang dihasilkan oleh benda, sedangkan status
kepemilikan tetap menjadi hak pewakaf.
Madzhab
Ima>m Ma>lik menekankan adanya kepastian hukum yang mengikat berupa batasan
waktu bagi benda yang diwakafkan, pembatasan waktu itu pada saat ikrar wakaf
ditetapakan.
Madzhab
Ima>m Sya>fi’i menekankan bahwa, wakaf merubah
status kepemilikan dari hak milik seseorang menjadi hak milik Allah yang dalam
hal ini diwakilkan oleh suatu lembaga wakaf.
Menurut
madzhab Ima>m Ahmad bin
Hambal, tidak jauh berbeda dengan yang dikemukan Madzhab Ima>m Sya>fi’i, yaitu
menekankan perubahan status kepemilikan dari hak milik pribadi menjadi hak
milik Allah.
3.
Macam-Macam
Wakaf
Macam-macam wakaf dikaitkan dengan pihak penerima wakaf ada dua,
yaitu : wakaf ahliy (wakaf keluarga) dan wakaf khairiy (wakaf
sosial)[12]
Wakaf khairiy adalah wakaf yang ditunjukan pertama kali
untuk kebajikan sampai batas waktu tertentu, kemudian peruntukan wakaf
berpindah kepada seseorang atau beberapa orang. Contoh wakaf khairiy
adalah seseorang mewakafkan tanahnya untuk rumah sakit selama sepuluh tahun,
kemudian setelah batas waktu yang dintentukan, wakaf itu menjadi wakaf ahli
yaitu untuk dirinya dan anak-anaknya.
Wakaf ahliy adalah wakaf yang pada awalnya diwakafkan untuk
diri pewakaf atau seseorang atau beberapa orang tertentu dan terakhir untuk
kepentingan kebajikan atau maslahat umum.
Menurut Badra>n Abu
al-Ainaini, praktek wakaf terkadang beragam, ada yang mewakafkan setengah
hartanya untuk wakaf khairiy dan setengah yang lain untuk wakaf ahliy,
seperti dikatakan”Aku mewakafkan setengah dari hartaku untuk diriku kemudian
setelah aku wafat untuk anak-anakku dan setengah yang lain aku wakafkan untuk
rumah sakit”. Maka ikrar ini sebagian adalah wakaf ahliy dan setengahnya lagi
wakaf khairiy.[13]
C.
Dasar Hukum
Wakaf
Dasar hukum wakaf dari Al-Qur’an, al-Hadits, dan Ijma’ para
sahabat.
a.
Al-Qur’an
Didalam al-Qur’an tidak terdapat ayat-ayat secara khusus yang
mengatur tentang wakaf, namun demikian terdapat beberapa ayat yang bersifat
umum yang menjadi dasar hukum wakaf, antara lain adalah:
لَن تَنَالُواْ
ٱلۡبِرَّ حَتَّىٰ تُنفِقُواْ مِمَّا تُحِبُّونَۚ وَمَا تُنفِقُواْ مِن شَيۡءٖ
فَإِنَّ ٱللَّهَ بِهِۦ عَلِيمٞ ٩٢
“Kamu
sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu
menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan
maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.(Ali Imran:92)
b.
Hadits
حديث أبي هريرة
أنه قال : أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : اذ ا مات الإنسان انقطع عمله الا
من ثلاث : الا من صدقة جارية أوعلم ينتفع به أو ولد صالح يدعوله {رواه مسلم }
Hadits Abu Hurairah, ia berkata: bahwa Rusulullah s.a.w bersabda: Apabila
manusia meninggal dunia maka terputuslah amalnya kecuali tigal hal: shadaqah
jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang mendo’akan kepadanya. (
hadits riwayat Muslim ).
c.
Ijma’ Sahabat
Praktek wakaf dilakukan oleh para sahabat, diantaranya adalah umar
bin khatab mewakafkan tanah di Khaibar, Ali bin Abi Thalib, Fatimah binti
Muhammad. Pelaksanaan wakaf oleh para sahabat ini, tidak ada sahabat yang lain
mengingkari, maka Ulama menyatakan para sahabat sudah sepakat tentang prktek
wakaf adalah bagian dari hukum islam. Praktek para sahabat diikuti pula oleh
generasi tabi’in, tabi’it tabi’in hingga kaum muslimin setelahnya.
Dengan demikian wakaf terus berkembang secara berkesinambungan hingga sekarang.
Ijma para sahabat ini dapat dijadikan dasar hukum bahwa wakaf merupakan bagian
dari ajaran islam.
D.
Latar Belakang
UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf
Berbekal dari
dasar pemikiran, baik analisa ajaran
fiqih, fenomena
sosiologis
maupun landasan hukum berupa persetujuan prakarsa penyusunan Rancangan Undang-Undang
Wakaf dari Presiden melalui Sekretaris Negara, Bambang Kesowo, maka Direktorat
zakat dan wakaf menindaklanjuti dengan menyiapkan naskah akademik sebagai
landasan pemikiran dalam penyusunan RUU tentang Wakaf. Naskah Akademik ini
disusun oleh Dr. Uswatun hasanah, pakar perwakafan dari Universitas Indonesia.[14]
Penyusunan
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang
tentang Wakaf ini adalah dalam rangka memberi alasan pentingnya
penyusunan RUU tentang wakaf. Konsep-konsep yang dimuat dalam naskah ini mengacu
pada perkembangan perwakafan di Indonesia dan tuntutan masyarakat untuk
mewujudkan kesejahteraan sosial. Harta wakaf pada prinsipnya adalah milik umat,
dengan demikian manfaatnya juga harus dirasakan oleh umat dan oleh karena itu
pada tataran idealnya maka harta wakaf adalah tanggung jawab kolektif guna
menjaga keeksisannya.Oleh kerena itu, pemerintah telah menerbitkan
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Lahirnya Undang-Undang Nomor
41 Tahun 2004 tentang Wakaf tersebut, memberikan setitik harapan bagi
perkembangan dinamis wakaf di Indonesia. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004
tersebut mengamanatkan pemerintah untuk memberikan pembinaan terhadap lembaga
wakaf di Indonesia agar dapat berperan meningkatkan kesejahteraan masyarakat
umum.
E.
Urgensi UU No.
41 Tahun 2004 tentang Wakaf
Sepanjang
sejarah Islam, wakaf merupakan sarana danmodal yang amat penting dalam
memajukan perkembangan agama. DiIndonesia, perwakafan diatur dalam PP No. 28
Tahun 1977 sebelum lahir UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, perwakafan tanah
milik dan sedikit disinggung dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok Agraria. Namun peraturan perundang-undangan tersebut hanya mengatur
benda-benda wakaf tak bergerak dan peruntukannya lebih banyak untuk kepentingan
ibadah mahdhah,seperti masjid, musholla, pesantren, kuburan, dan
lain-lain.[15]
Karena keterbatasan cakupannya, kedua peraturan perundang-undangan tersebut
belum memberikan peluang yang maksimal bagi tumbuhnya pemberdayaan benda-benda
wakaf secara produktif dan profesional. Maka pada tanggal 27 Oktober 2004,
UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf
diundangkan oleh pemerintah (Presiden) yang memiliki urgensi, yaitu selain
untuk kepentingan ibadah mahdhah,
juga menekankan perlunya pemberdayaan wakaf secara produktif untuk kepentingan sosial (kesejahteraan umat).
F.
Undang-Undang
No.41 Tahun 2004 tentang Wakaf
Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Presiden Republik Indonesia
tentang wakaf, pada pasal 1[16]:
1.
Wakaf adalah perbuatan hukum wakif
untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk
dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan
kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umun menurut
syariah.
2.
Wakif adalah pihak yang mewakafkan
harta benda miliknya.
3.
Ikrar wakaf adalah pernyataan
kehendak wakif yang diucapkan secara lisan dan/atau tulisan kepada nazhir untuk
mewakafkan harta benda miliknya.
4.
Nazhir adalah pihak yang menerima
harta benda wakaf dari wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan
peruntukanya.
5.
Harta Benda Wakaf adalah harta benda
yang memiliki daya tahan lama dan/atau manfaat jangka panjang serta mempunyai
nilai ekonomi syariah yang diwakafkan oleh wakif.
6.
Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf,
selanjutnya disingkat PPAIW, adalah pejabat berwenang yang ditetapakan oleh
menteri untuk membuat akta ikrar wakaf.
7.
Badan Wakaf Indonesia adalah lembaga
independen untuk mengembangkan perwakafan di Indonesia.
8.
Pemerintah adalah perangkat Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas Presiden beserta para menteri.
9.
Menteri adalah menteri yang
bertanggung jawab dibidang agama.
G.
DASAR-DASAR
WAKAF[17]
Bagian Pertama
: Umum
Pasal 2, Wakaf
sah apabila dilaksanakan menurut syariah.
Pasal 3, Wakaf
yang telah diikrarkan tidak dapat dibatalkan.
Bagian Kedua :
Tujuan dan Fungsi Wakaf
Pasal 4, Wakaf
bertujuan memanfaatkan harta benda wakaf sesuai dengan fungsinya.
Pasal 5, Wakaf
berfungsi mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk
kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum.
Bagian Ketiga :
Unsur Wakaf
Pasal 6, Wakaf
dilaksanakan dengan memenuhi unsur wakaf sebagai berikut: Wakif; Nazhir; Harta Benda Wakaf; Ikrar Wakaf; peruntukan
harta benda wakaf; jangka waktu wakaf.
a.
Wakif
Pasal 7 : Wakif meliputi:
perseorangan, organisasi, badan hukum.
Wakif perseorangan,
bisa dikatakan melakukan wakaf apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut :
dewasa; berakal sehat; tidak terhalang melakukan perbuatan hukum; dan pemilik
sah harta benda wakaf.[18]
Wakif
organisasi, hanya dapat melakukan wakaf apabila memenuhi ketentuan organisasi
untuk mewakafkan harta benda wakaf milik organisasi sesuai dengan anggaran
dasar organisasi yang bersangkutan.[19]
Wakif badan
hukum,hanya dapat melakukan wakaf apabila memenuhi ketentuan badan hukum untuk
mewakafkan harta benda wakaf milik badan hukum sesuai dengan anggaran dasar
badan hukum yang bersangkutan.[20]
Makna yang
dimaksud dengan perseorang, organisasi dan/atau badan hukum adalah perseorangan
warga negara Indonesia atau warga negara asing, organisasi Indonesia atau
organisasi asing dan/atau badan hukum Indonesia atau badan hukum asing.[21]
b.
Nazir[22]
Perseoranga, hanya dapat menjadi Nazhir apabila memenuhi
persyaratan: warga negara Indonesia; beragama Islam; dewasa; amanah; mampu secara jasmani dan rohani; dan tidak
terhalang melakukan perbuatan hukum.
Organisasi, hanya dapat menjadi Nazhir apabila memenuhi persyaratan
pengurus organisasi yang bersangkutan memenuhi persyaratan nazhir perseorangan
dan organisasi yang bergerak dibidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan,
dan/atau keagamaan Islam.
Badan hukum, hanya dapat menjadi Nazhir apabila memenuhi
persyaratan menjadi pengurus badan hukum yang bersangkutan memenuhi persyaratan
nazhir perseorangan, badan hukum Indonesia yang dibentuk sesuai dengan
peraturan perundang.undangan yang berlaku dan badan hukum yang bersangkutan
bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan, dan/atau keagamaan
Islam.
Yang dimaksud dengan perseorangan, organisasi dan/atau badan hukum
adalah perseorangan warga negara Indonesia, organisasi Indonesia dan/atau badan
hukum Indonesia.[23]
Pasal 11 : Nazhir mempunyai tugas:
rnelakukan pengadministrasian harta benda wakaf; mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf
sesuai dengan tujuan, fungsi, dan peruntukannya; mengawasi dan melindungi harta
benda wakaf; melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia.
Pasal 14 :
1.
Dalam rangka pembinaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13, Nazhir harus terdaftar pada Menteri dan Badan Wakaf Indonesia.
Yang dimaksud
pasal 14 ayat 1 itu adalah dalam rangka pendaftaran Nazhir, menteri harus
proaktif untuk mendaftar pada nazhir yang sudah ada dalam masyarakat.[24]
c.
Harta Benda Wakaf
Pasal 15 :Harta benda wakaf hanya dapat diwakafkan apabila dimiliki
dan dikuasai oleh Wakif secara sah.
Pasal 16 : Harta benda wakaf terdiri dari:
a.
benda tidak bergerak; dan
b.
benda bergerak.
Benda tidak bergerak seperti:
a.
hak atas tanah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku baik yang sudah maupun yang
belum terdaftar
b.
bangunan atau bagian bangunan yang
berdiri di atas tanah
c.
tanaman dan benda lain yang
berkaitan dengan tanah;
d.
hak milik atas satuan rumah susun
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang.undangan yang berlaku
e.
benda tidak bergerak lain sesuai
dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang.undangan yang berlaku.
Benda bergerak adalah harta benda yang tidak bisa habis karena
dikonsumsi, meliputi: (a)uang;(b) logam mulia;(c)surat berharga; (d)kendaraan;(e)
hak atas kekayaan intelektual; (f)hak sewa; (g) dan benda bergerak lain sesuai
dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang.undangan yang berlaku.
Yang dimaksud dengan bagian (g) adalah benda bergerak lain sesuai
dengan syariah, dan peraturan yang berlaku, antara lain mushaf, buku, dan
kitab.[25]
d.
Ikrar Wakaf
Pasal 17 :
1.
Ikrar wakaf dilaksanakan oleh Wakif
kepada Nadzir di hadapan PPAIW dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi.
2.
Ikrar Wakaf sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dinyatakan secara lisan dan/atau tulisan serta dituangkan dalam
akta ikrar wakaf oleh PPAIW.
Saksi dalam
ikrar wakaf harus memenuhi persyaratan[26]:
a. dewasa;
b. beragama Islam;
c. berakal sehat;
d. tidak terhalang melakukan perbuatan hukum.
Pasal 19: Untuk
dapat melaksanakan ikrar wakaf, wakif atau kuasanya menyerahkan surat dan/atau
bukti kepemilikan atas harta benda wakaf kepada PPAIW.
Yang dimaksud
pasal 19 adalah penyerahan surat-surat atau dokumen kepemilikan atas harta
benda wakaf oleh wakif atau kuasanya kepada PPAIW dimaksudkan agar diperoleh
kepastian keberadaan harta benda wakaf dan kebenaran adanya hak wakif atas
harta benda wakaf dimaksud.[27]
e. Peruntukan
Harta Benda Wakaf
Pasal 22 :
Dalam rangka mencapai tujuan dan fungsi wakaf, harta benda wakaf hanya dapat
diperuntukan bagi: sarana dan kegiatan ibadah;sarana dan kegiatan pendidikan
serta kesehatan;bantuan kepada fakir miskin anak terlantar, yatim piatu, bea
siswa; kemajuan dan peningkatan ekonomi umat; dan/atau kemajuan kesejahteraan
umum lainnya yang tidak bertentangan dengan syariah dan peraturan
perundang-undangan.
H.
Wakaf Benda
Bergerak Berupa Uang
Pasal 28: Wakif
dapat mewakafkan benda bergerak berupa uang melalui lembaga keuangan syariah
yang ditunjuk oleh Menteri.[28]
Yang dimaksud
dengan lembaga keuangan syariah adalah badan hukum Indonesia yang bergerak di
bidang keuangan syariah.[29]
Pasal 29 :
(1) Wakaf benda
bergerak berupa uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 dilaksanakan oleh
Wakif dengan pernyataan kehendak Wakif yang dilakukan secara tertulis.
(2) Wakaf benda
bergerak berupa uang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)diterbitkan dalam bentuk
sertifikat wakaf uang.
(3) Sertifikat
wakaf uang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterbitkan dan disampaikan oleh
lembaga keuangan syariah kepada Wakif dan Nazhir sebagai bukti penyerahan harta
benda wakaf.
Yang dimaksud
pada ayat 1 adalah pernyataan kehendak wakif secara tertulis tersebut dilakukan
kepada lembaga keuangan syariah dimaksud.[30]
I.
Pendaftaran Dan
Pengumuman Harta Benda Wakaf
Pasal 32:PPAIW
atas nama Nazhir mendaftarkan harta benda wakaf kepada Instansi yang berwenang
paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak akta ikrar wakaf ditanda tangani.
Yang dimaksud
adalah Instansi yang berwenang dibidang wakaf tanah adalah Badan Pertanahan
Nasional. Instansi yang berwenang dibidang wakaf benda bergerak selain uang
adalah instansi yang terkait dengan tugas pokoknya. Instansi yang berwenang
dibidang wakaf benda bergerak selain uang yang tidak terdaftar adalah Badan
Wakaf Indonesia[31]
Pasal 38: Menteri
dan Badan Wakaf Indonesia mengumumkan kepada masyarakat harta benda wakaf yang
telah terdaftar.
Maksudnya
adalah mengumumkan harta benda wakaf dengan memasukkan data tentang harta benda
wakaf dalam register umum. Dengan dimasukkannya data, tentang harta benda wakaf
dalam register umum, maka terpenuhi asas publisitas dari wakaf sehingga
masyarakat dapat mengakses data tersebut.[32]
J.
Perubahan
Status Harta Benda Wakaf
Pasal 40:Harta
benda wakaf yang sudah diwakafkan dilarang:( a)dijadikan jaminan;(b)disita;(c)dihibahkan;(d)dijual;(e)diwariskan;(f)ditukar;
atau (g)dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya.
Pasal 41:
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40
huruf f dikecualikan apabila harta
benda wakaf
yang telah diwakafkan digunakan untuk kepentingan umum sesuai dengan rencana
umum tata ruang (RUTR) berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku dan tidak bertentangan dengan syariah.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin tertulis
dariMenteri atas persetujuan Badan Wakaf Indonesia.
(3) Harta benda
wakaf yang sudah diubah statusnya karena ketentuan pengecualian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajibditukar dengan harta benda yang manfaat dan nilai
tukar sekurang. kurangnya samadengan harta benda wakaf semula.
(4) Ketentuan mengenai perubahan status harta
benda wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1 ), ayat (2), dan ayat (3)
diaturlebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
H. Pengelolaan
dan pengembangan harta benda wakaf
Pasal 42: Nazhir wajib mengelola dan mengembangkan harta benda
wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi, dan peruntukannya.[33]
Pasal
43 :
(1) Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf oleh Nazhir
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dilaksanakan sesuai dengan prinsip syariah.
(2) Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara produktif.
(3) Dalam hal pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang
dimaksud pada ayat (1) diperlukan penjamin, maka digunakan lembaga penjamin
syariah.
Maksud ayat 2 adalah pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf
dilakukan secara produktif antara lain dengan cara pengumpulan, investasi, penanaman
modal,produksi, kemitraan,perdagangan, agrobisnis,pertambangan,perindustrian,
pengembangan teknologi, dan usaha-usaha yang tidak bertentangan dengan syariah.
Maksud ayat 3 adalah lembaga penjamin syariah badan hukum yang
menyelenggarakan kegiatan penjaminan atas suatu kegiatan usaha yang dapat
dilakukan antara lain melalui skim asuransi syariah atau skim lainya sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undang yang berlaku.
K.
Kesimpulan
Konsep filantropi dalam islam
berpijak kuat diatas sebuah pradigma bahwa martabat manusia sebagai sesuatu
yang sangat penting untuk dipelihara dan bahkan diperjuangkan. Dengan demikian
bentuk-bentuk filantropi terus berkembang dari waktu kewaktu dan dewasa ini
memperoleh perhatian yang luas tidak hanya dari kalangan ahli agama, tetapi
juga negara, diantaranya: shadaqah, zakat dan wakaf. Di Indonesia, setelah
melalui proses yang panjang dalam rapat paripurna DPR RI untuk mengambil
keputusan RUU wakaf yang berlansung pada tanggal 28 september 2004, akhirnya
RUU tentang wakaf disetujui menjadi undang-undang. Disahnya Rencana
Undang-undang wakaf menjadi undang-undang wakaf merupakan langkah awal dari
kebijakan pembenahan tata kelola wakaf di Indonesia. Walaupun dari substansi
undang-undang wakaf dikategorikan cukup progresif namun perlu implementasi
kebijakan yang terencana dan terarah dengan baik agar tujuan-tujuan penyusunan
bisa tercapai.
UNDANG-UNDANG HAJI DI INDONESIA
A.
Pendahuluan
Haji dalam arti
berkunjung kesuatu tempat tertentu untuk tujuan ibadah, dikenal oleh umat
manusia melalui tuntunan agama-agama, khususnya dibelahan timur dunia kita ini.
Ibadah ini diharapkan dapat mengantar manusia kepada pengenalan jadi diri,
membersihkan dan menyucikan jiwa mereka. Itu sebabnya mengapa ajaran
agama-agama dalam kaitannya dengan ibadah haji mengajurkan pelakunya untuk
memulainya dengan mandi untuk tujuan menyucikan jasmani dari segala noda dan
taubat untuk tujuan menyucikan hati dari segala dosa.
Dalam berbagai
buku yang berbicara tentang sejarah ka’bah dan haji, ditemukan uraian yang
berbeda menyangkut siapa yang mula-mula membangun ka’bah dan melalui siapa
Tuhan pada mulanya mensyariatkan ibadah haji. Kalau merujuk ke al-Qur’an kita
dapat berkata antara lain bahwa :
Pertama: Nabi Ibrahim bersama
putra beliau Ismail as, adalah yang meninggikan fondasi Ka’bah sesuai firman
Allah swt:
وَإِذۡ يَرۡفَعُ إِبۡرَٰهِۧمُ ٱلۡقَوَاعِدَ مِنَ ٱلۡبَيۡتِ
وَإِسۡمَٰعِيلُ رَبَّنَا تَقَبَّلۡ مِنَّآۖ إِنَّكَ أَنتَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡعَلِيمُ
١٢٧
“Dan
(ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama
Ismail (seraya berdoa): "Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan
kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui"(QS.
Al-Baqarah : 127)
Ayat ini memberikan kesan bahwa Ka’bah telah ada sebelum Nabi
Ibrahim as, hanya saja beliau bersama putranya Ismai’il as yang meninggikan
fondasinya, karena boleh jadi ketika itu ka’bah telah runtuh atau bahkan rata
dengan bumi.
Kedua: Setelah
selesai tugasnya, Nabi Ibrahim as berdoa dengan diaminkan oleh putranya
Ismai’il as dengan doa yang artinya “Tuhan peliharalah kami, jadikanlah kami
berdua orang yang tunduk patuh kepadamu dan (jadikanlah) diantara anak cucu
kami umat yang tunduk patuh kepada-Mu dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara
dan tempat-tempat ibadat haji kami, dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya
Engkaulah Yang Maha Penerima taubat, lagi Maha Pengasih”(QS al-Baqarah :
128)
Ini memberi
kesan bahwa Nabi Ibrahim as mengetahui adanaya ibadah yang berkaitan dengan Ka’bah
dan sekitarnya, kerana itu beliau bermohon agar ditunjukakan tempat-tempat dan
cara-cara ibadah tersebut. ini dapat diduga keras bahwa Allah swt mengabulkan
doa beliau.
Ketiga: Nabi
Ibrahim as, ditugaskan Allah swt untuk mengumandangkan seruan melaksanakan
ibadah haji, sebagaimana firman-Nya :
وَأَذِّن فِي ٱلنَّاسِ بِٱلۡحَجِّ يَأۡتُوكَ رِجَالٗا وَعَلَىٰ كُلِّ
ضَامِرٖ يَأۡتِينَ مِن كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٖ ٢٧
“Dan
berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang
kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari
segenap penjuru yang jauh”(QS. Al-Hajj : 27).
Konon ketika
Nabi Ibrahim as mendengar perintah ini, beliau berkata, “Wahai Tuhan, suaraku
tidak akan didengar oleh manusia” Maka Allah swt menjawabnya:” Engkau hanya
mengumandangkan, Akun Yang memperdengarkan mereka”. Sejak saat itu hingga kini,
ibadah haji terdengar atau dikenal menimal oleh Muslim dan diketahui bahwa ia
adalah kewajiban yang ditetapakan Allah swt bagi yang mampu.
Haji dalam kehidupan masyarakat Jahiliyah
Masyarakat Jahiliyah yang mengagungkan Ka’bah dan mengklaim
melaksanakan ajaran Nabi Ibrahim as, termasuk praktik ibadah haji. Islam datang
mengukuhkan yang sesuai dan membatalkan atau meluruskan yang menyimpang,
sebagai contoh[34]:
a.
Banyak anggota masyarakat Jahiliyah
yang melaksanakan ritual berkeliling ka’bah tanpa busana, Wanita-wanita pun
tanpa busana. Sambil berputar mengelilingi ka’bah, mereka berdendang : “Hari
ini terlihat semua atau sebagian # Apa yang terlihat tidak ku bolehkan[35]
Memang ada sekelompok masyarakat, yaitu sekelompok
suku Quraisy yang bergelar al-Hummas,yakni yang sangat ketat dan tinggi
semanagat keagamaannya. Mereka itu enggan melaksanakan Thawaf tanpa busana,dan
mereka juga sering menyumbangkan pakian kepada wanita-wanita agar mengenakannya
saat Thawaf, kebiasaan ini berlanjut hingga tahun ke-10 hijrah. Ketika itu juga
Rasulullah saw, mengutus sayyidina ‘Ali ra untuk mengumumkan pada saat
pelaksanaan haji tahun ke-10 itu bahwa tidak diperkenankan lagi seorangpun
berthawaf tanpa busana.[36]
b.
Kelompok al-Hummas merasa diri mereka sebagai kelompok
aristokrat. Mereka melaksanakan wuquf diMuzdalifah dan enggan melaksanakannya
di Arafah, tempat dimana seharusnya wuquf dilaksanakan. Kemudian ajaran islam
meluruskan sikap mereka itu melalui perintah Allah swt kepada Nabi saw bersama
umat islam untuk melaksanakan wuquf diArafah dalam firman-Nya :
ثُمَّ غَفُور
أَفِيضُواْ مِنۡ حَيۡثُ أَفَاضَ ٱلنَّاسُ وَٱسۡتَغۡفِرُواْ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ
ٞ رَّحِيمٞ ١٩٩
“Kemudian
bertolaklah kamu dari tempat bertolaknya orang-orang banyak (´Arafah) dan
mohonlah ampun kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang”(QS. Al-Baqarah:199)
c.
Ada juga kelompok tertentu dari
penduduk Yatsrib yang memulai ritual ibadah haji dari tempat yang berada di
Shafa dan Marwah ( yang lazim diketahui sebagai miqa>t maka>n), lokasi dimana ketika itu terdapat
dua patung yakni Isaf dan Nailah, yang menurut kepercayaan mereka adalah
sepasang lelaki dan perempuan yang
berzina di dekat Ka’bah dan dikutuk Tuhan menjadi batu. Demikian riwayat Ima>m Muslim melalui ‘Aisyah ra.
d.
Adat buruk lainya adalah sikap
segolongan masyarakat jahiliyah yakni apabila selesai melaksanakan haji, mereka
tidak masuk rumah mereka melalui pintu-pintu yang tersedia, tetapi membuat
lubang dibelakang rumah atau bagian atas rumah, lalu dari sana mereka memasuki
rumah masing-masing.
e.
Pada awal masa Islam, orang-orang
melakukan thawaf bersama-sama dan dengan bergandengan tangan, namun ini
kemudian dibatalkan Nabi saw, agaknya kerena pandanaganjauh beliu. Banyangkan
seandainya berthawaf harus dengan bergandengan tangan !
Demikian
sedikit gambaran dari pelaksanaan Ibadah Haji sebelum tersebarnya ajaran Islam
di Mekkah.
Sejarah ibadah haji
tidak terlepas dari kota-kota yang menjadi pusat pelaksanaan haji. Makkah yang
merupakan pusat kegiatan ibadah haji adalah tempat Nabi Muhammad SAW
dilahirkan. Termasuk dibesarkannya Nabi Ismail A.S oleh kedua orang tuanya
yaitu Nabi Ibrahim A.S dan Sitti Hajjar yang menjadi awal-mula sejarah haji
tersebut.[37] Kewajiban melaksanakan
ibadah itu, semua berawal dari wahyu yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya,
begitupu haji. Diperintahkan haji bermuala dari turunya wahyu surat Al-Imran
ayat 97:
فِيهِ ءَايَٰتُۢ
بَيِّنَٰتٞ مَّقَامُ إِبۡرَٰهِيمَۖ وَمَن دَخَلَهُۥ كَانَ ءَامِنٗاۗ وَلِلَّهِ
عَلَى ٱلنَّاسِ حِجُّ ٱلۡبَيۡتِ مَنِ ٱسۡتَطَاعَ إِلَيۡهِ سَبِيلٗاۚ وَمَن كَفَرَ
فَإِنَّ ٱللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ ٱلۡعَٰلَمِينَ ٩٧
“Padanya
terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; barangsiapa
memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah
kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan
perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka
sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam”(QS. Al-Imran :
97)
Di Indonesia, pelaksanaan ibadah haji tidak
diketahui secara pasti, tapi menurut literatur sejarah telah dimulai sejak
Islam masuk ke Indonesia pada sekitar abad 12 M, yang dilaksanakan secara perorangan
dan kelompok dalam jumlah yang kecil serta belum dilaksanakan secara massal.
Sejak berdirinya kerajaan Islam di Indonesia perjalanan haji mulai dilaksanakan
secara rutin setiap tahunnya dan semakin meningkat jumlahnya setelah berdirinya
kerjaan Pasai di Aceh pada tahun 1292.[38]
Perjalanan pulang
dari Indonesia ke Arab Saudi memerlukan waktu yang cukup lama berbulan-bulan
bahkan bertahun-tahun disebebkan karena perjalanan dilakukan melalui laut
dengan menggunakan perahu layar, disamping itu juga singgah dinegara-negara
tertentu untuk menuntut ilmu dan berdagang. Sebagai ilustrasi dapat diketahui
dari perjalanan seorang sultan dari banten yang terkenal dengan sebagai Sultan
Haji yaitu Sultan Abdul Kohar pada tahun 1674 melakukan perjalanan ke Makkah melalui
Turki yang dilakukan dalam dua tahun. Bahkan banyak jamaah haji Indonesia
terutama dari kalangan pesantren, kemudian menetap di Arab Saudi dan
menghabiskan hidupnya disana.[39]
Penyelenggaraan ibadah haji pada zaman penjajahan, peraturan tentang perhajian pertama kali ditetapkan pada masa penjajahan
kolonial Belanda (1825) dalam bentuk ordonasi, yang mangatur prosesi ritual dan
sebagai upaya memberikan peluang kepada rakyat khususnya umat islam.
Implementasi dari ordonansi dikemudian hari membuka kemungkinan upaya-upaya
berbagai pihak untuk mengkeritisi penyelenggaraan haji pada masa itu. Dalam
perkembangan lebih lanjut ordonansi tersebut justru menjadi alat pemerintah
kolonial untuk mendeteksi siapa saja yang rajin melaksanakan
ketentuan-ketentuan agama islam terutama dalam hal urusan upacara ritual atau ubudiyah[40]. Dengan
peraturan-peraturan yang diterapkan maka pemerintah kolonial sangat mudah
menjaring dan mengawasi para ulama yang menjadi pemimpin perjuangan untuk
melepaskan bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan Belanda.[41]
Penyelenggaraan ibadah haji peda zaman kemerdekaan, pada masa perang dunia kedua, penurunan jumlah jamaah cukup drastis.
Pelaksanaan ibadah haji mulai begairah lagi setelah tahun 1950-an bersamaan dengan
berakhirnaya revolusi fisik perjuangan kemerdekaan. Pengurusan
penyelenggaraannya dilakukan oleh bagian khusus urusan haji Dapartemen Agama
RI. Pada tahun 1964, pemerintah mengeluarkan keputusan Presiden RI NO.112 tahun
1964 tentang penyelenggaran urusan haji secara interdapartemen. Berdasarkan
pemikiran ini, maka penyelenggaran urusan haji memiliki kepanitian lebih mantap
yang dikuatkan denagan keputusan Presiden. Sehingga pada tahun 2008,
terbentuklah Undang-Undang NO 13 Tahun 2008 tentang penyelengaaraan ibadah haji
dari hasil persetujuan sidang Dewan Perwakilan Rakyat.
B. Difinisi Haji
Secara terminologi haji berasal dari bahasa Arabحج yang mengandung arti qashd, yakni
tujuan, maksud, dan menyengaja, berarti menyengaja atau menuju dan
mengunjungi. Menurut istilah syara', haji ialah menuju ke Baitullah
dan tempat-tempat tertentu untuk melaksanakan amalan-amalan ibadah tertentu
pula.
Prof. Dr. T.M Hasbi Ash Shiddieqy dalam bukunya Pedoman
Haji menyatakan haji menurut bahasa ialah menuju kesuatu tempat
berulang kali atau menuju kepada sesuatu yang dibesarkan.[42]
Menurut Ahmad Jamil
Alim dalam Panduan Ringkas Manasik Haji bahwa haji adalah
beribadah kepada Allah dengan menziarahi Baitul Haram pada waktu tertentu dan
dengan tata cara yang tertentu.
Menunaikan ibadah
haji adalah bentuk ritual tahunan yang dilaksanakan kaum muslim sedunia yang
mampu secara material, fisik, dan keilmuan dengan berkunjung dan melaksanakan
beberapa kegiatan di beberapa tempat di Arab Saudi pada suatu waktu yang
dikenal sebagai musim haji (bulan Dzulhijjah). Hal ini berbeda dengan ibadah
umroh yang bisa dilaksanakan sewaktu-waktu.[43]
Dari pengertian
diatas dapat disimpulkan bahwa haji adalah mengunjungi Baitullah atau
ka’bah yang wajib dilaksanakan oleh setiap mulsim yang mampu secara material,
fisik maupun keilmuan, dilaksanakan pada bulan Dzulhijjah di
tahun Hijriah dan merupakan rukun islam yang kelima.
Dalam pelaksanaanya,
para ulama memperkenelkan tiga cara pelaksanaan haji [44]:
a. Ifra>d, yakni mengerjakan haji lebih
dahulu kemudian mengerjakan umrah.
b. Tamattu’, yakni mengerjakan umrah lebih dahulu kemudian haji
c. Qira>n, yakni mengerjakan haji dan
umrah sekaligus dalam satu niat.
Para Ulama berbeda
pendapat tentang mana diantara ketiga cara ini yang terbaik, hal ini antara
lain diakibatkan oleh perbedaan
pendapat tentang cara Rasulullah melaksanakan haji.Imam Ma>lik menguatkan riwayat dari istri Nabi,’A>’isyah, yang mrnyatakan bahwa Rasulullah saw, melaksanakan haji dengan cara
ifrad. ‘A>’isyah mengatakan,” kami keluar bersama Rasulullah saw(pada haji wada’)
dan beliau bersabda, barangsiapa diantra kalian hendak melaksanakan haji dan
umrah, maka silahkan. Barangsiapa henda melaksanakan haji(saja), maka silahkan.
Barangsiapa hendak umrah(saja), maka silahkan.
‘A>’isyah mengatakan,’Rasulullah saw, melakukan haji(saja), dan ada
beberapa orang bersama beliau. Ada yang melaksanakan haji dan umrah, dan ada
juga yang melaksanakan umrah saja. Saya termasuk yang melaksanakan umrah
(saja).[45]
Imam Ah}mad
mengatakan,’saya tidak ragu bahwa haji Rasulullah adalah dengan cara qira>n. Akan tetapi, imam ini berpendapat bahwa haji sebaiknya dilaksanakan
secara tamattu’ berdasarkan riwayat yang menyatakan bahwa Nabi saw
bersabda,” seandainya yang telah lalu dapat kulakukan di masa datang,
niscaya aku menjadikannya(hajiku) umrah dulu(dan baru melaksanakan haji).’[46]
Allah swt, mengundang
seluruh manusia yang mampu, sekali seumur hidupnya agar berkunjung kerumah-Nya
serta tempat-tempat tertentu, datang dengan tulus penuh pemahaman dan
penghayatan, guna menyaksikan keagungan-Nya memperoleh ampunan dan Ridha-Nya
serta meraih aneka manfaat duniawi dan ukhrawi.
Karena itulah, maka ditetapkan sekian syarat
bagi yang hendak melaksanakan ibadah haji[47]:
(a)Seorang Muslim,
(b)berakal sehat, (c) bebas merdeka tanpa satu ikatan perbudakan,
(d)berkemampuan, ini mencakup beberapa aspek, yakni kemampuan material
yang diperoleh secara halal, tetapi bukan dengan menjual satu-satunya sumber
penghasilan atau menjual yang dapat
mengakibatkan kesulitan hidup yang bersangkutan dan keluarganya, selanjutnya kemampuan
fisik, yang tidak kurang pentingnya juga kemampuan ilmiah dan rohani
(pelajarilah dengan saksama seluk beluk ibadah haji agar tidak melanggar
ketentuannya), kemampuan yang lain juga berkaitan dengan keamanan dalam
perjalanan, tempat yang dituju, serta tempat dan waktu pelaksanaan ibadah
hingga kembali menemui keluarga,(e) biasanya perjalanan itu dilakukan, ini
antara lain berarti bahwa seseorang yang merasa belum mempunya waktu yang
sesuai untuk melaksanakan haji, maka ia boleh menangguhkan sampai keadaanya
menjadi lebih sesuai, walau harus digaris bawahi bahwa sesorang tidak
diperkenankan menunda-nunda tanpa alasan yang kuat, selain itu makna lain dari
persyaratan ini adalah tersedianya kouta bagi yang bersangkutan.
Dalam ibadah haji,
rukun adalah sesuatu yang apabila tidak dikerjakan sesuai ketentuanya, maka
ibadah haji tidak sah. Rukun haji dalam pandangan mazhab Syafi’i adalah (a)
Ihram,(b) Wukuf di ‘Arafah,(c) Thawaf al-Ifadhah,(d) Sa’i antara Shafa dan
Marwah,(e)Tahallul,(f) Tertib.
Dalam ibadah haji
atau umrah, wajib adalah sesuatu jika diabaikan, secara keseluruhan atau tidak
memenuhi syaratnya maka haji tetap sah, tetapi orang yang bersangkutan harus
melaksanakan sanksi(dam). Wajib haji adalah (a) berihram di Miqat,(b)
berada dimuzhalifah setelah pertengahan malam walau sejenak,(c) berada di Mina
pada malam hari-hari tasyriq,(d) melontar jamarat pada setiap hari-hari
tasyriq,(e)menghindari apa yang diharamkan dalam konteks berihram[48].
C. Dasar Hukum Ibadah Haji
Haji merupakan sebuah kewajiban yang ditetapkan berdasarkan al-Qur’an,
Sunnah, dan Ijma’. Dalam Al-Qur’an Allah berfirman :
فِيهِ ءَايَٰتُۢ
بَيِّنَٰتٞ مَّقَامُ إِبۡرَٰهِيمَۖ وَمَن دَخَلَهُۥ كَانَ ءَامِنٗاۗ وَلِلَّهِ
عَلَى ٱلنَّاسِ حِجُّ ٱلۡبَيۡتِ مَنِ ٱسۡتَطَاعَ إِلَيۡهِ سَبِيلٗاۚ وَمَن كَفَرَ
فَإِنَّ ٱللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ ٱلۡعَٰلَمِينَ ٩٧
“Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di
antaranya) maqam Ibrahim; barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi
amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu
(bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa
mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak
memerlukan sesuatu) dari semesta alam”(Q.S. Ali-Imran : 97)
Adapun
Hadits : Ibadah haji hanya wajib dilaksanakan sekali semur hidup sebagaimana
disebutkan dalam hadits: Abdullah bin Abbas r.a.meriwayatkan bahwa
Rasulullah saw pernah berkhutbah, “Wahai manusia, telah diwajibkan ibadah haji
atas kamu,” seorang bernama al-Aqra bin Habis bertanya,”Apakah setiap tahun
wahai Rasulullah? Maka beliau menjawab,”Seandainya aku mengiyakan, niscaya
diwajibkan atas kamu. Dan seandainya benar-benar diwajibkan (setiap tahunnya),
niscaya kamu tidak akan mampu melakukannya.[49]
Adapun
Ijma’, telah ada sejak era sahabat sampai hari ini, dimana mereka semua
menyatakan bahwa haji merupakan kewajiban sekali seumur hidup atas setiap orang
mampu.
D. Undang-Undang Haji
Pasal I : Dalam
undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Ibadah haji adalah rukun islam kelima yang merupakan kewajiban sekali
seumur hidup bagi setiap orang islam yang mampu menunaikanya.
2. Penyelenggaraan ibadah haji adalah rangkian kegiatan pengelolaan
pelaksanaan ibadah haji yang meliputi pembinaan, pelayanan, dan perlindungan
jemaah haji.
3. Jemaah haji adalah warga negara Indonesia yang beragama islam dan telah mendaftarkan diri untuk menunaikan
ibadah haji sesuai dengan persyaratan yang ditetapakan.
4. Warga negara adalah warga negara Indonesia.
5. Pemerintah adalah Pemerintah Republik Indonesia.
6. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, yang selanjutnya disebut DPR,
adalah Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang dasar negara republik Indonesia tahun 1945.
7. Komisi pengawasan haji Indonesia, yang selanjutnya disebut KPHI, adalah
lembaga mandiri yang dibentuk untuk melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan
ibadah haji.
8. Biaya penyelenggaraan ibadah haji, yang selanjutnya disebut BPIH, adalah
sejumlah dana yang harus dibayar oleh warga negara yang akan menunaikan ibadah
haji.
9. Pembinaan ibadah haji adalah serangkian yang meliputi penyuluhan dan
pembimbingan bagi jemaah haji.
10. Pelayanan kesehatan dan pemeriksaan, perawatan, dan pemeliharaan kesehatan
jamaah haji.
11. Paspor haji adalah dokumen perjalanan resmi yang diberikan kepada jemaah
haji untuk menunaikan ibadah haji.
12. Akomodasi adalah perumahan dan pemondokan yang disediakan bagi jamaah haji
selama di embarkasi atau didebarkasi dan diArab Saudi.
13. Transportasi
adalah pengangkutan yang disediakan bagi
Jemaah Haji selamaPenyelenggaraan Ibadah Haji.
14. Penyelenggaraan Ibadah Haji Khus us
adalah Penyelenggaraan Ibadah Haji yang
pengelolaan, pembiayaan, dan
pelayanannya bersifat khusus.
15.Penyelenggara Ibadah Haji Khusus adalah pihak yang menyelenggarakan ibadah haji yang
pengelolaan, pembiayaan, dan
pelayanannya bersifat khusus.
16. Ibadah Umrah adalah umrah yang
dilaksanakan di luar musim haji.
17. Dana Abadi Umat, yang selanjutnya disebut
DAU, hádala sejumlah dana yang diperoleh dari hasil
pengembangan Dana Abadi Umat dan/atau
sisa biaya operasional Penyelenggaraan Ibadah Haji serta sumber lain y ang halal dan tidak mengikat.
18. Badan Pengelola
Dana Abadi Umat, yang selanjutnya
disebut BP DAU, adalah badan untuk menghimpun, mengelola, dan mengembangkan Dana Abadi
Umat.
19. Menteri adalah
Menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggung
jawabnya di bidang agama.
Bab II : Asas dan Tujuan
Pasal 2: Penyelenggaraan ibadah
haji dilaksanakan berdasarkan asas keadilan profesional, dan akuntabilitas
dengan prinsip nirlaba.
Yang dimaksud pasal 2 ini, asas keadilan adalah bahwa penyeleggaraan ibadah
haji berpegang pada kebenaran, tidak berat sebelah, tidak memihak, dan tidak
sewenang-wenang dalam penyelenggaraan ibadah haji. Asas profesional adalah
bahwa penyelenggaraan ibadah haji harus dilaksanakan dengan mempertimbangkan
keahlian para penyelenggaranya. Sedangkan asas akuntabilitas dengan prinsip
nirbala adalah bahwa penyelenggaraan ibadah haji dilakukan secara terbuka dan
dapat dipertanggung jawabkan secara etik dan hukum dengan prinsip tidak untuk
mencari keuntungan.[51]
Pasal 3 : Penyelenggaraan
ibadah haji bertujuan untuk memberikan pembinaan, pelayanan, dan perlindungan
yang sebaik-baiknya bagi jemaah haji sehingga jemaah haji dapat menunaikan
ibadahnya sesuai dengan ketentuan ajaran agama islam.
Bab III : Bagian pertama : Hak dan Kewajiban
Pasal 4[52]
:
1. Setiap warga negara yang beragama islam berhak untuk menunaikan ibadah haji
dengan syarat :
a. Berusia paling rendah 18 tahun atau
sudah menikah; dan
b. Mampu membayar BPIH
2. Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan sebagaimana maksud pada ayat
satu diatur dengan peraturan menteri.
Pasal 5 : Setiap Warga Negara yang akan menunaikan Ibadah Haji berkewajiban sebagai berikut:
a. mendaftarkan diri kepada Panitia Penyelenggara Ibadah Haji kantor Departemen Agama kabupaten/kota setempat;
b. membayar BPIH yang disetorkan
melalui bank penerima setoran; dan
c. memenuhi dan mematuhi persyaratan
dan ketentuan yang berlaku dalam
Penyelenggaraan Ibadah Haji.
Bagian Kedua : Kewajiban Pemerintah
Pasal 6:Pemerintah
berkewajiban melakukan pembinaan,
pelayanan, dan perlindungan dengan menyediakan layanan administrasi, bimbingan Ibadah Haji,
Akomodasi, Transportasi, Pelayanan
Kesehatan, keamanan, dan hal - hal lain
yang diperlukan oleh Jemaah Haji.
Bagian Ketiga : Hak Jemaah Haji
Pasal 7:Jemaah Haji
berhak memperoleh pembinaan, pelayanan,
dan perlindungan dalam menjalankan Ibadah Haji, yang meliputi:
a. pembimbingan manasik haji dan/atau materi
lainnya, baik di tanah air, di
perjalanan, maupun di Arab Saudi;
b. pelayanan Akomodasi, konsumsi, Transportasi,
dan Pelayanan Kesehatan yang memadai,
baik di tanah air, selamadi perjalanan, maupun di Arab Saudi;
c. perlindungan sebagai Warga Negara
Indonesia;
d. penggunaan Paspor Haji dan dokumen lainnya
yang diperlukan untuk pelaksanaan
Ibadah Haji; dan
e. pemberian kenyamanan Transportasi dan
pemondokan selama di tanah air, di Arab
Saudi, dan saat kepulangan ke tanah air.
Yang dimaksud dengan
“kenyamanan” dihuruf (e) adalah tersedianya transportasi dan pemondokan yang
layak dan manusiawi.[53]
Bab IV : Pengorganisasian
Pasal 8 :
(1) Penyelenggaraan Ibadah Haji meliputi unsur
kebijakan, pelaksanaan, danpengawasan.
(2) Kebijakan dan
pelaksanaan dalam Penyelenggaraan
Ibadah Haji merupakan tugas nasional dan menjadi tanggung jawab Pemerintah.
(3) Dalam melaksanakan tugas dan tanggung
jawab sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), Menteri mengoordinasikannya
dan/atau bekerja sama dengan
masyarakat, departemen/instansi terkait, dan Pemerintah Kerajaan Arab Saudi.
(4) Pelaksanaan dalam
Penyelenggaraan Ibadah Haji sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh Pemerintah dan/atau
masyarakat.
(5) Dalam rangka pelaksanaan Penyelenggaraan
Ibadah Haji sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) Pemerintah membentuk satuan
kerja di bawah Menteri.
(6) Pengawasan
Penyelenggaraan Ibadah Haji merupakan
tugas dan t anggung jawab KPHI.
(7) Ketentuan lebih
lanjut mengenai kebijakan dan
pelaksanaan dalam Penyelenggaraan Ibadah Haji sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Yang dimaksud “satuan
kerja dibawah menteri” pada ayat 5 adalah satuan kerja yang mendukung
operasional penyelenggaraan ibadah haji yang bersifat permanen dan sistematik
ditingkat pusat, ditingkat daerah, dan di Arab Saudi.
Pasal 9:
Penyelenggaraan
Ibadah Haji dikoordinasi oleh:(a)Menteri di tingkat pusat;
(b)gubernur di
tingkat provinsi;(c)bupati/wali kota di tingkat kabupaten/kota; dan(d)Kepala
Perwakilan Republik Indonesia untuk Kerajaan Arab Saudi.
Yang dimaksud “Kepala
Perwakilan Republik Indonesia untuk Kerajaan Arab Saudi” adalah Duta Besar
Republik Indonesia untuk kerajaan Arab Saudi dan konsultan Jendral Republik
Indonesia di Jeddah.
Bagian kedua: Panitia Penyelenggara Ibadah Haji
Pasal 11:
(1) Menteri membentuk
Panitia Penyelenggara Ibadah Haji di
tingkat pusat, di daerah yang memiliki embarkasi, dan di Arab Saudi.
(2) Dalam rangka Penyelenggaraan Ibadah Haji,Menteri menunjuk petugas yang
menyertai Jemaah Haji, yang terdiri atas:
a. Tim Pemandu Haji Indonesia
(TPHI);
b. Tim Pembimbing Ibadah Haji
Indonesia (TPIHI); dan
c. Tim Kesehatan Haji Indonesia
(TKHI).
(3) Gubernur atau bupati/wali kota
dapat mengangkat petugas yang menyertai Jemaah Haji, yang terdiri atas:
a. Tim Pemandu Haji Daerah (TPHD);
dan
b. Tim Kesehatan Haji Daerah (TKHD).
(4) Biaya operasional Panitia Penyelenggara Ibadah Haji dan petugas operasional pusat dan daerah
dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan
Belanja Neg ara dan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai
persyaratan dan mekanisme pengangkatan
petugas sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan
Menteri.
Bab V : Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji
Pasal 21:
(1) Besaran BPIH ditetapkan oleh
Presiden atas usul Menteri setelah
mendapat persetujuan DPR.
(2) BPIH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk keperluan biayaPenyelenggaraan Ibadah
Haji.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan BPIH diatur dengan
Peraturan Menteri.
Yang dimaksud ayat 3 adalah pengelolaan BPIH dilakukan bardasarkan siklus
penyelenggaraan ibadah haji sesuai dengan kalender hijriah.
Pasal 22:
(1) BPIH disetorkan ke rekening Menteri melalui bank syariah dan/atau bank umum nasional yang
ditunjuk oleh Menteri.
(2) Penerimaan setoran BPIH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan
ketentuan kuota yang telah ditetapkan.
Bab VI : Pendaftaran dan Kuota
Pasal 26:
(1) Pendaftaran Jemaah Haji dilakukan di Panitia Penyelenggara Ibadah Haji dengan mengikuti prosedur dan memenuhi
persyaratan yang telah ditetapkan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur dan persyaratan pendaftaran diatur dengan
Peraturan Menteri.
Bab VII: Pembinaan
Pasal 29
(1) Dalam rangka Pembinaan Ibadah Haji, Menteri menetapkan:
a. mekanisme dan prosedur Pembinaan Ibadah Haji;
dan
b. pedoman pembinaan, tuntunan manasik, dan p anduan perjalanan Ibadah Haji.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan tanpa memungut biaya tambahan
dari Jemaah Haji di luar BPIH yang telah
ditetapkan.
Bab VIII : Kesehatan
Pasal 31:
(1) Pembinaan dan Pelayanan Kesehatan Ibadah Haji, baik pada saat persiapan maupun pelaksanaan
Penyelenggaraan Ibadah Haji, dilakukan oleh menteri yang ruanglingkup tugas dan tanggung
jawabnya di bidang kesehatan.
(2) Pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikoordinasi oleh
Menteri.
Bab IX : Keimigrasian
Pasal 32:
(1) Setiap Warga Negara yang akan menunaikan Ibadah Haji menggunakan Paspor Haji yang
dikeluarkan oleh Menteri.
(2) Menteri dapat menunjuk pejabat untuk dan/atau atas namanya menandatangani Paspor Haji.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengecualian ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Menteri.
Bab X : Transportasi
Pasal 33:
(1) Pelayanan Transportasi Jemaah Haji ke Arab Saudi dan pemulangannya ke tempat embarkasi asal di
Indonesia menjadi tanggung jawab Menteri
dan berkoordinasi dengan menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang perhubungan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Bab XI: Akomodasi
Pasal 37:
(1) Menteri wajib menyediakan Akomodasi
bagi Jemaah Haji tanpa memungut biaya
tambahan dari Jemaah Haji di luar BPIH
yang telah ditetapkan.
(2)Akomodasi bagi Jemaah Haji harus memenuhi estándar
kelayakan denganmemperhatikan aspek kesehatan, keamanan, kenyamanan, dan kemudahan Jemaah
Haji beserta barang bawaannya.
(3)Ketentuan lebih lanjut mengenai penyediaan Akomodasi bagi Jemaah Haji sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Bab XII : Penyelenggaraan Ibadah Haji
Khusus
Pasal 38:
(1) Dalam rangka Penyelenggaraan Ibadah Haji bagi masyarakat yang membutuhkan pelayanan
khusus, dapat diselenggarakan Ibadah
Haji Khusus yang pengelolaan dan
pembiayaannya bersifat khusus.
(2) Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus dilaksanakan oleh Penyelenggara Ibadah Haji Khusus yang telah
mendapat izin dari Menteri.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksana Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 40:Penyelenggara Ibadah Haji Khusus wajib memenuhi ketentuan sebagai
berikut:
a. menerima pendaftaran dan melayani Jemaah Haji hanya yang menggunakan Paspor Haji;
b. memberikan bimbingan Ibadah
Haji;
c. memberikan layanan Akomodasi,
konsumsi, Transportasi, dan Pelayanan
Kesehatan secara khusus; dan
d. memberangkatkan, memulangkan,
dan melayani Jemaah Haji sesuai dengan
perjanjian yang disepakati antara
penyelenggara dan Jemaah Haji
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2
Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 Tentang
Penyelenggaraan Ibadah Haji
Pada tahun 2009,
pemerintah melakukan pengganti undang-undang tentang perubahan atas
undang-undang no 13 tahun 2008 tentang penyelenggaraan ibadah haji, dengan
pertimbangan sebagai berikut[54]:
a. bahwa dengan adanya kewajiban bagi setiap jamaah haji Indonesia untuk
menggunakan paspor biasa mulai tahun 1430 H, diperlukan upaya untuk menjamin
agar penyelenggaraan ibadah haji dapat dilaksanakan.
b. Bahwa dalam rangka menjamin terlaksananya penyelenggaraan ibadah haji perlu
melakukan perubahan ketentuan mengenai paspor haji bagi jamaah haji sebagaimana
diatur dalam undang-undang 13 tahun 2008 tentang penyelenggaraan ibadah haji.
c. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana diamksud dalam huruf a dan b,
perlu menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang tentang perubahan
atas undang-undang nomor 13 tahun 2008 tentang penyelenggaraan ibadah haji.
Dengan memutuskan dan
menetapakan :
Pasal I
Beberapa ketentuan
dalam undang-undang nomor 13 tahun 2008 tentang penyelenggaraan ibadah haji (
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 60, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4845), diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 1 angka 11 di hapus
2. Ketentuan Pasal 7 huruf d diubah, sehingga Pasal 7 seluruhnya berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 7
Jamaah haji berhak memperoleh pembinaan, pelayanan, dan perlindungan dalam
menjalankan ibadah haji, yang meliputi :
a. Pembimbingan manasik haji dan/atau materi lainya, baik di tanah air,
diperjalanan, maupun di Arab Saudi.
b. Pelayanan akomodasi, konsumsi, transportasi, dan pelayanan kesehatan yang
memadai, baik ditanah air, selama diperjalanan, maupun di Arab Saudi.
c. Perlindungan sebagai warga negara Indonesia.
d. Penggunaan paspor biasa dan dokumen lainya yang diperlukan untuk
pelaksanaan ibadah haji; dan
e. Pemberian kenyamanan transportasi dan pemondokan selama di Tanah Air, di
Arab Saudi, dan saat kepulangan ke Tanah Air.
3. Ketentuan Pasal 32 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut :
Pasal 32
Setiap warga negara Indonesia yang menunaikan ibadah haji menggunakan
paspor biasa yang dikeluarkan oleh menteri yang membidangi urusan keimigrasian.
4. Ketentuan Pasal 40 huruf a diubah, sehingga Pasal 40 selurunya berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 40
Penyelenggaraan ibadah haji khusus wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. Menerima pendaftaran dan melayani jemaah haji khusus yang telah terdaftar
sebagai jamaah haji;
b. Memberikan bimbingan ibadah haji;
c. Memberikan layanan akomodasi, konsumsi, transportasi, dan pelayanan
kesehatan secara khusus; dan
d. Memberangkatkan, memulangkan, melayani jamaah haji sesuai dengan perjanjian
yang disepakati antara penyelenggara dan jamaah haji.
Kesimpulan
Ibadah haji merupakan
salah satu ibadah yang wajib dilakukan oleh setiap muslim bilamana mampu, dan
termasuk rukun islam yang kelima. Dalam hal pelaksanaannya, tidaklah mudah,
contohnya saja Indonesia, polemik dan permasalahan permasalahan tentang haji
sangat sporadis dan komplikatif. Dari mulai kuota, biaya perjalanan atau yang
sering kita sebut dengan ONH sampai pelayanan haji di Indonesia maupun di Arab
Saudi Makkah yang menjadi tempat pelaksanaanya.
Permasalahan dalam
penyelenggaraan haji dari tahun ke tahun, menuntut lahirnya sistem manajemen
yang mampu mengakses segenap fungsi-fungsi manajerial seperti, perencanaan,
pengorganisasian, pengkoordinasian, serta adanya pengawasan guna mencapai
penyelenggaraan haji yang aman, lancar, aman, tertib, teratur dan ekonomis.
Maka untuk menyelesaikan hal itu pemerintah selalu berusaha meningkatkan
penyelenggaraan maupun pelayanan ibadah haji dari tahun ke tahun terbukti
dengan adanya regulasi-regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah, walaupun
hasilnya masih jauh dari apa yang kita inginkan.
Regulasi tersebut
dikeluarkan untuk menjadi pijakan dan aturan penyelenggaraan ibadah haji. Dalam
hal pelayanan haji ada hal-hal yang perlu diperhatikan yaitu berupa:
transportasi, pemondokan, pelayanan kesehatan, keamanan dan lain-lain, yang
membutuhkan profesionalisme seorang petugas haji. Hal inilah yang sering
menjadi sorotan masyarakat atas kesuksesan penyelenggaraan ibadah haji, juga
akan sangat berpengaruh terhadap citra Departemen Agama sebagai penyelenggara
ibadah haji tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Ash Shiddieqy, Prof.Dr TM hasbi. Pedoman Haji, (Jakarta:
Bulan Bintang 1983).
Al-Ainaini Badra>n,Abu Badra>n Ahka>m al-Washa>ya wa al-Auqa>, (Iskandariyah:Mu’assasah syaba>b al-Ja>miah, 1982).
Abouseif, Doris
Behrens. “waqf in the Arab Lands” The Encyclopaedia Islam,( leiden:Brill
2002).
Amin ibn
Abidin, Muhammad, Ha>syiyah Rad al-Mukhta>r, (Beriut: Da>r al-Fikr,1992), juz IV.
al-Maltha>wi, Hasan Ka>mil . Fiqh al-Mua>mala>t ‘ala-Madzhab
al-Ima>m Ma>lik,(ttp:Al-Majlis al-A’la li al-Su’an
al-Isla>miyah lajnah
al-Ta’rif bi al-Islam,tth).
Andi Agung
Prihatna, Filantropi dan keadilan sosial di Indonesia, dalam Revitalisasi
Filantropi Islam: Studi kasus lembaga zakat dan wakaf di Indonesia,ed.
Chaider S.Bamualim dan Irfan Abu Bakar (Jakarta: Pusat Budaya dan Bahasa UIN
Jakarta, 2005 ).
Al-Jaziri, Kitab
al-Fiqh.
Abu al-Fara>j Husain, ahka>m al-washa>ya wa al-Auqa>f fi Syari>ah al-Isla>miyah,(Iskandariyah: Da>r al-Mathbua>t al-Ja>miah,1997).
Achmad Djunaidi
dan Thobieb al-Asyhar, Era Wakaf
Produktif Sebuah Upaya Progresif Untuk Kesejahteraan Umat, Cet. 3, Jakarta:
Mitra Abadi Press, 2006.
Abu Muhammad
Abdullah bin Ahmad bin Muhammad Al-Mughni,( Riya>dh:Maktabah bin Quda>rnah, al-
Dr. Mardani, Hukum
Islam, (Kencana Prenadamedia Group. Jakarta, 2013).
Dr. Zakiah Darajat, Haji Ibadah yang Unik.
Departemen
Agama, Proses Lahirnya Undang-Undang No.
41 tahun 2004 tentang Wakaf, Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf
DirektoratJenderal Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama, 2006.
Edi Auliya
Rakhman,Efektifitas Undang-undang no.17 tahun1999 tentang penyelenggaraan
ibadah haji dalam memberikan perlindungan hukum kepada konsumen haji,
Universitas Diponogoro Semarang. 2004).
Laporan Akhir Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia
M. Quraish
Shihab, Haji dan Umrah, ( Lentera Hati, tangerang:2012).
M.Quraish Shihab, 1001 soal keislaman yang patut anda ketahui.
( lentera hati, Tangerang).
Praja Juhaya S,
Perwakafan di Indonesia, ( Bandung: Yayasan Piara, 1995).
Syamsuddin
Muhammad bin Abi al-Abbas Ahmad bin Hamzah ibn Syihabuddin al-Ramli al-Manufi
al-Anshari al-Sya>fi’i al-Shaghir, Niha>yah al-Muhta>j ila syarh al-Minha>j fi al-Fiqh ‘ala Madzhab al-Ima>m al-Sya>fi’i, (Riya>dh: Musthafa>al-Ba>by al- Halaby wa auladih, 1938), juz V.
Tim penulis,
Proses Lahirnya Undang-undang Wakaf,( Jakarta:Derektorat Pemberdayaan Wakaf
Depag, 2006).
Tuti A Najib
dan Ridwan al-Makassary, wakaf, Tuhan dan Agenda Kemanusiaan, studi tentang
wakaf dalam perspektif keadilan sosial di Indonesia(Jakarta:CSRC UIN Syarif
Hidayatullah,2006).
undang-undang
Republik Indonesia nomor 13 tahun 2008, bagian kesatu: Hak dan Kewajiban
warga negara
Undang-undang
Republik Indonesia no 41 tahun 2004, tentang wakaf.
Wahbah
al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Isla>my wa Adillatuh,(Damaskus:Da>r al-Fikr, 1989), cet.ke 3, juz VIII.
[1] QS 90 : 12-20
[2] Andi Agung
Prihatna, Filantropi dan keadilan sosial di Indonesia, dalam Revitalisasi
Filantropi Islam: Studi kasus lembaga zakat dan wakaf di Indonesia,ed.
Chaider S.Bamualim dan Irfan Abu Bakar (Jakarta: Pusat Budaya dan Bahasa UIN
Jakarta, 2005 ), 4-5
[3] Praja Juhaya S,
Perwakafan di Indonesia, ( Bandung: Yayasan Piara, 1995) hlm:9
[4] Tuti A Najib
dan Ridwan al-Makassary, wakaf, Tuhan dan Agenda Kemanusiaan, studi tentang
wakaf dalam perspektif keadilan sosial di Indonesia(Jakarta:CSRC UIN Syarif
Hidayatullah,2006), hlm: 33
[5] Doris Behrens
Abouseif, “waqf in the Arab Lands” The Encyclopaedia Islam,(
leiden:Brill 2002), 11:64
[6] Tim penulis,
Proses Lahirnya Undang-undang Wakaf,( Jakarta:Derektorat Pemberdayaan Wakaf
Depag, 2006)
[7] Wahbah
al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Isla>my wa Adillatuh,(Damaskus:Da>r al-Fikr, 1989), cet.ke 3, juz VIII, hlm : 153.
[8] Muhammad Amin
ibn Abidin, Ha>syiyah Rad al-Mukhta>r, (Beriut: Da>r al-Fikr,1992), juz IV, hlm :337
[9] Hasan Ka>mil al-Maltha>wi,
Fiqh al-Mua>mala>t ‘ala-Madzhab al-Ima>m Ma>lik,(ttp:Al-Majlis
al-A’la li al-Su’an al-Isla>miyah lajnah al-Ta’rif bi al-Islam,tth),hlm:203
[10] Syamsuddin Muhammad bin Abi
al-Abbas Ahmad bin Hamzah ibn Syihabuddin al-Ramli al-Manufi al-Anshari
al-Sya>fi’i al-Shaghir, Niha>yah al-Muhta>j ila syarh al-Minha>j
fi al-Fiqh ‘ala Madzhab al-Ima>m al-Sya>fi’i, (Riya>dh:
Musthafa> al-Ba>by al- Halaby wa auladih, 1938), juz V, hlm: 355
[11] Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad
bin Muhammad Al-Mughni,( Riya>dh:Maktabah bin Quda>rnah, al-Riya>dh
al- Hadi>tsah) hlm:597
[12] Abu al-Fara>j Husain,
ahka>m al-washa>ya wa al-Auqa>f fi Syari>ah
al-Isla>miyah,(Iskandariyah: Da>r al-Mathbua>t al-Ja>miah,1997)
hlm:240
[13] Badra>n Abu Al-Ainaini
Badra>n, Ahka>m al-Washa>ya wa al-Auqa>, (Iskandariyah:Mu’assasah
syaba>b al-Ja>miah, 1982) hlm:273
[14]
Departemen
Agama, Proses Lahirnya Undang-Undang No.
41 tahun 2004 tentang
Wakaf, Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf DirektoratJenderal
Bimbingan Masyarakat Islam
Departemen Agama, 2006, hlm. 37.
[15] Achmad Djunaidi
dan Thobieb al-Asyhar, Era Wakaf
Produktif Sebuah Upaya Progresif Untuk Kesejahteraan Umat, Cet. 3, Jakarta: Mitra
Abadi Press, 2006, hlm. 89
[16] Undang-undang
Republik Indonesia no 41 tahun 2004, tentang wakaf, pasal 1
[17] Undang-undang
Republik Indonesia no 41 tahun 2004, tentang wakaf, bab II
[18] Lihat
undang-undang wakaf pasal 8 ayat (1)
[19] Lihat
undang-undang wakaf pasal 8 ayat (2)
[20] Lihat
undang-undang wakaf pasal 8 ayat (3)
[21] Dr. Mardani, Hukum
Islam, (Kencana Prenadamedia Group. Jakarta, 2013) hlm : 597
[22] Lihat
undang-undang wakaf pasal 9 dan 10
[23] Dr. Mardani, Hukum
Islam, (Kencana Prenadamedia Group. Jakarta, 2013) hlm : 598
[24] Dr. Mardani, Hukum
Islam, (Kencana Prenadamedia Group. Jakarta, 2013) hlm : 598
[25] Dr. Mardani, Hukum
Islam, (Kencana Prenadamedia Group. Jakarta, 2013) hlm : 599
[26] Lihat
undang-undang wakaf pasal 20
[27] Dr. Mardani, Hukum
Islam, (Kencana Prenadamedia Group. Jakarta, 2013) hlm : 599
[28] Lihat
undang-undang wakaf pasal 28
[30]Dr. Mardani, Hukum
Islam, (Kencana Prenadamedia Group. Jakarta, 2013) hlm :600
[31] Dr. Mardani, Hukum
Islam, (Kencana Prenadamedia Group. Jakarta, 2013) hlm :600
[32] Dr. Mardani, Hukum
Islam, (Kencana Prenadamedia Group. Jakarta, 2013) hlm :601
[33] Lihat
undang-undang wakaf pasal 42
[34] M. Quraish
Shihab, Haji dan Umrah, ( Lentera Hati, tangerang:2012) hlm:6
[35] ucapan ini
menunjukkan bahwa sikap mereka diatas bukan lahir atas dorongan kebebasan seks
dan “buka-bukaan” tetapi atas dasar kepercayaan mereka yang sudah bodoh dan
sesat.
[36] Thawaf tanpa
busana itulah antara lain yang menjadikan Nabi saw enggan melaksanakan ibadah
haji kendati ibadah tersebut telah diwajibkan pada tahun ke-9 dan beliau baru
melaksanakannya pada tahun ke-10 H.
[38] Laporan Akhir Komisi Pengawas Persaingan Usaha
Republik Indonesia
[39] Edi Auliya
Rakhman,Efektifitas Undang-undang no.17 tahun1999 tentang penyelenggaraan
ibadah haji dalam memberikan perlindungan hukum kepada konsumen haji,
Universitas Diponogoro Semarang. 2004) hlm:31
[40] Edi Auliya
Rakhman,Efektifitas Undang-undang no.17 tahun1999 tentang penyelenggaraan
ibadah haji dalam memberikan perlindungan hukum kepada konsumen haji,
Universitas Diponogoro Semarang. 2004) hlm:32
[41] Pada tahun
1912, para ulama mencoba untuk melepaskan diri dari penjajahan melalui metode
penekanan dengan peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial,
termasuk aturan menyangkut ibadah. Disini nampak jelas bahwa penyelengaraan
ibadah haji pada masa kolonial tidak dapat dilepaskan dari tujuan-tujuan
politis. Pemerintah menjadikan pengaturan ibadah haji sebagai kumuflase dalam
melakukan intervensi kedalam urusan keagamaan rakyat dan sebagai upaya menarik
perhatian masyarakat untuk mendukung kebijakan pemerintah kolonial. Pada tahun
1922, pemerintah kolonial mengeluarkan aturan agar setiap calon jamaah haji
diharuskan membeli kercis kapal laut pergi pulang ketanah air.
[42] Prof. Dr. TM
hasbi Ash Shiddieqy. Pedoman Haji, (Jakarta: Bulan Bintang
1983) hlm:16
[43] Prof. Dr. TM
hasbi Ash Shiddieqy. Pedoman Haji, (Jakarta: Bulan Bintang
1983) hlm:16
[44] M.Quraish
Shihab, 1001 soal keislaman yang patut anda ketahui. ( lentera hati,
Tangerang) hlm : 231
[45] M.Quraish
Shihab, 1001 soal keislaman yang patut anda ketahui. ( lentera hati,
Tangerang) hlm : 231
[46] M.Quraish
Shihab, 1001 soal keislaman yang patut anda ketahui. ( lentera hati,
Tangerang) hlm : 231
[47] M. Quraish
Shihab, Haji dan Umrah, ( Lentera Hati, tangerang:2012) hlm:219
[48] M. Quraish
Shihab, Haji dan Umrah, ( Lentera Hati, tangerang:2012) hlm:242
[49]Al-Jaziri, Kitab
al-Fiqh, hlm 324.
[50] Undang-undang Republik
Indonesia nomor 13 tahun 2008, tentang penyelenggaraan ibadah haji
[51] Dr. Mardani, Hukum
Islam, (Kencana Prenadamedia Group. Jakarta, 2013) hlm : 437
[52] Lihat
undang-undang Republik Indonesia nomor 13 tahun 2008, bagian kesatu: Hak dan
Kewajiban warga negara
[53] Dr. Mardani, Hukum
Islam, (Kencana Prenadamedia Group. Jakarta, 2013) hlm :438
[54] Dr. Mardani, Hukum
Islam, (Kencana Prenadamedia Group. Jakarta, 2013) hlm:446
Tidak ada komentar:
Posting Komentar