ISLAM INDONESIA :
Diskursus Islam
Kultural
A.
Pendahuluan
Indonesia adalah negara yang majemuk yang terdiri dari berbagai macam ras,
bahasa, kebudayaan, suku, agama dan kepercayaan hidup di negeri ini. Yang mana Semboyan
“Bhinneka Tunggal Ika” merupakan ungkapan yang tepat untuk menjelaskan realitas
sekaligus harapan bangsa ini. Walaupun berbagai ragam budaya, bahasa, ras, suku,
agama dan kepercayaan hidup namun Indonesia tetaplah satu, tetap merasa saling
memiliki, saling menghargai satu sama lain. Pendapat Blaise Pascal yang dikutip
oleh Harold Coward, pluralisme yang tidak diintegrasikan dalam bentuk kesatuan
(unity) adalah kekacauan (chaos), sedangkan kesatuan yang tidak menjaga
pluralitas adalah tirani (tyranny).[1]
Salah satu persoalan mendasar yang ingin dipecahkan secara tuntas oleh para
intelektual muslim adalah menyangkut hubungan Islam dan Negara ( dasar negara
Indonesia) dari masa orde lama hingga orde baru. Namun terdapat berbagai kesulitan dalam mencari hubungan antara Islam
dan negara, bangsa atau berwawasan kebangsaan sebab seakan-akan sifat Islam itu
suprarasional. Sebagaimana semua agama, Islam menjangkau kemanusiaan secara
universal tidak peduli asal-usul etnisnya.[2] Kemudian
asumsi ini melahirkan semacam kewajiban bagi pemeluk Islam untuk mendirikan
negara Islam. Tapi Ironisnya, negara Islam diteorisasikan sebagai negara Tuhan
atau kerajaan Tuhan di alam bumi yang komponen-komponennya adalah mahluk hidup
di antaranya umat Islam, biantang dll; hukum Islam (syari’ah), dan khalifah
sebagai bayangan Tuhan di muka bumi.[3]
Situasi hubungan antara Islam dan negara di Indonesia tidak berbeda jauh
dengan apa yang dialami kawasan dunia Islam lainnya. Untuk waktu yang agak
lama, sejarah Islam kontemporer ditandai dengan kemandegkan politik (political
stagnation) dalam hubungannya dengan negara. Islam Politik (political Islam)
pernah dianggap sebagai lawan (rival) kekuasaan yang dapat mengusik atau
mengubah basis kebangsaan negara. Ketegangan ini baru bisa dikatakan relatif
berhenti,setelah semua ormas Islam menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas
organisasi pada pertengahan tahun 1980-an.[4]
Beragam budaya dan agama berkembang dalam masyarakat, yang mana keduanya
tak jarang lebur dan terjadi akulturasi. Aklturasi tersebut seringkali
menyebabkan berbagai hal yang dapat membingungkan orang untuk membedakan mana
yang produk agama, dan mana yang merupakan produk budaya. Walaupun antara agama
dan budaya tidaklah dapat dipisahkan, tetapi juga telah diinsafi oleh banyak
ahli, agama dan budaya itu, meskipun tidak dapat dipisahkan namun dapat
dibedakan, dan tidak dibenarkan mencampuradukkan diantara keduanya. Agama bernilai mutlak, tidak berubah menurut
perubahan waktu dan tempat. Tetapi budaya, sekalipun yang berdasarkan agama,
dapat berubah dari waktu ke waktu, dan dari tempat ke tempat. Sementara
kebanyakan budaya berdasarkan agama, namun tidak pernah terjadi sebaliknya,
yaitu agama berdasarkan agama
Untuk membedakan dan memisahkan antara budaya dan agama, maka diperlukan
pembaharuan. Dalam pandangan Nurcholis Madjid, pembaruan harus dimulai dari dua
hal yang saling erat hubungannya, yaitu melepaskan diri dari nilai-nilai
tradisional, dan mencari nilai-nilai yang berorientasi ke masa depan.[5]Menurut
Nurcholish Madjid, dorongan melakukan pembaruan inilah yang mengandung
konotasi, bahwa kaum muslim Indonesia sekarang ini telah mengalami kejumudan
kembali dalam pemikiran dan pengembangan ajaran-ajaran Islam, dan kehilangan
kekuatan secara psikologis perjuangannya.
Ide pembaruan dalam pemikiran Islam hanya dapat mungkin diterangkan, jika
seseorang dapat secara historis-kritis mengamati perkembangan pemikiran Islam
dalam hubungannya dengan konteks sosial-budaya yang mengitarinya. Tanpa
mengaitkan dengan konteks tidak pernah ada pembaruan. Teks-teks al-Qur’an dan
al-Sunnah akan tetap seperti itu adanya, sedang alam, peristiwa-perstiwa alam,
peristiwa-peristiwa ilmu dan teknologi akan terus menerus berkembang tanpa mengenal
batas yang final.[6]
Oleh kerana itu, dalam makalah ini akan membahas tentang dua wajah Islam
yaitu Islam Kultural dan Islam Politik, yang telah berkembang diberbagai
belahan dunia Muslim termasuk di Indonesia.[7]
Cultural Islam dan Political Islam adalah dua istilah populer yang telah
berkembang didunia Islam termasuk Indonesia. Dan didalam bahasa Malaysia dan
Indonesia, Political Islam lebih dikenal dengan sebutan Islam politik,
yang umumnya diperhadapkan dengan Cultural Islam yang disebut dengan Islam
kultural. Penggunaan dua Istilah ini menunjukkan adanya dua jenis Islam yaitu
Islam politik dan Islam kultural.
B.
Islam Kultural dan
Pengaruhnya terhadap Politik Islam
Islam Kultural sebagai sebuah gerakan dimulai sejak
tahun 1980-an lebih terlihat muncul sebagai sebuah mainstream (arus utama)
pemikiran dari pada sebuah gerakan yang tampak secara fisik, namun dampaknya
dapat dirasakan terutama dalam menimbulkan wacana publik dan penyadaran
terhadap umat dalam menyikapi permasalah sosial di sekitarnya. Islam kultural
pertama kali digagasi oleh Nurcholish Madjid (cak nur) pada masa orde baru, dalam
pidatonya tanggal 2 Januari 1970, menyimpulkan bahwa dia merasa yakin bahwa
Islam tidak mungkin lagi akan mendapatkan kekuatan politik, jika masih
mengharapkan diwujudkan dalam jalur partai politik praktis. Dalam kaitan untuk
menjaga kepentingan dan kesinambungan perkembangan umat, dia menyerukan “Islam
Yes, Partai Islam, No” sebuah seruan deislamisasi partai politik, melalui
program yang disebutnya “sekularisasi”.[8]
Nurcholish Madjid menyebutkan definisi yang diberikan oleh Harvey Cox mengenai
“sekularisasi” dan “sekularisme” [9]yaitu
Sekularisasi sebagai istilah deskriptif mempunyai arti yang luas dan mencakup.
Ia muncul dalam samaran-samaran yang berbeda-beda, tergantung kepada sejarah
keagamaan dan politik suatu daerah yang dimaksudkan. Namun, di manapun ia
timbul, harus dibedakan dari sekularisme. Sekularisasi adalah perkembangan
pembebasan. Sedangkan sekularisme adalah nama untuk suatu ideologi, suatu
pandangan dunia baru yang tertutup yang berfungsi sangat mirip sebagai agama
baru. Salah satu kesadaran yang sangat berakar dalam pandangan seorang Muslim
adalah bahwa agama Islam itu sebuah agama yang universal, yang relevan untuk
setiap zaman dan tempat, serta cocok sekalian umat manusia.[10]
Pemberian nama Islam kultural nampaknya ingin
mengkontraskan dengan Islam politik. Namun demikian, kemunculan Islam kultural
sebenarnya bukan untuk menegasikan Islam politik melainkan sebuah solusi atau alternatif
atas kebuntuan Islam politik di Indonesia, baik pada masa awal kemerdekaan,
revolusi, Demokrasi Parlementer, Demokrasi Terpimpin, dan awal Orde Baru.
Islam kultural mempunyai arti bahwa Islam merupakan
salah satu komponen yang membentuk, melandasi, dan mengarahkan bangsa dan
negara. Dalam hal ini, Islam kultural tidak mengharuskan terbentuknya negara
Islam. Yang paling penting menurut Islam kultural adalah dilaksanakannya
nilai-nilai substansi Islam yaitu keadilan, kesamaan, partisipasi, dan musyawarah.[11]
Dengan menolak partai politik sebagai wahana pokok perjuangan Islam, Nurcholish
Madjid secara tegas menentang gagasan negara islam. Gagasan Nurcholish Madjid
ini menitikberatkan pada usaha pembaruan keagamaan dan etika serta membuka diri
terhadap kerjasama dengan kelompok-kelompok masyarakat di luar umat islam.
Nurcholish Madjid mengatakan:” Karena itu kini bangsa
Indonesia sangat comfortable dengan gagasan mereka berkenaan dengan hubungan
antara agama dan negara yang didasarkan pada Pancasila sebagai titik temu
antara seluruh golongan.”[12]
dapat disimpulkan bahwa bagi Nurcholish Madjid negara Pancasila adalah bentuk
final bagi bangsa Indonesia, sehingga umat Islam tidak perlu mendirikan negara
Islam. Yang paling penting, kata Nurcholish Madjid, adalah bagaimana setiap
undang-undang yang disusun di DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) memiliki kesesuaian
dengan nilai-nilai keislaman.
Dengan Islam kultural maka Pancasila dapat diterima
dengan damai oleh umat Islam. Menurut Jalaluddin Rahmat, pemikiran Nurcholish Madjid telah menyebabkan
ormas-ormas Islam yang telah menerima Pancasila sebagai asas organisasinya
merasa “lebih damai karena menemukan kebenaran.”[13]
konsep Islam kultural yang dirumuskan Nurcholish Madjid terutama mengenai
istilah “sekularisasi” terlihat jelas bahwa dia banyak mengutip
pendapat-pendapat ilmuwan Barat, seperti Robert N. Bellah, Harvey Cox, dan
Talcot Parsons. Sekularisasi dari ilmuwan Barat karena istilah sekularisasi
memang muncul dari sana. Oleh karena itu, pengambilan istilah sekularisasi dari
Barat merupakan hal yang biasa dan wajar. Namun demikian, secara keseluruhan
Nurcholish Madjid nampaknya banyak dipengaruhi oleh seorang ilmuwan Islam yang
banyak mengkritik ilmuwan lainnya yang dia anggap “menyimpang” dari Alquran dan
Hadits yaitu Ibn Taimiyah.[14]
Kesimpulan menurut Nurcholish Madjid terdapat
perbedaan cukup prinsipal antara pengertian “sekularisasi” secara sosiologis
dan secara filosofis. Dan karena sedemikian kontroversialnya istilah
“sekular”, “sekularisasi”, dan “sekularisme”
itu, maka dia berkata “adalah bijaksana untuk tidak menggunakan istilah-istilah
tersebut, dan lebih baik menggantikannya dengan istilah-istilah teknis lain
yang lebih tepat dan netral.”[15]
Kemudian pemikiran
Cak Nur itu di lanjutkan oleh Abdurrahman Wahid (Presiden ke-4 RI)
dengan sebutan pribumisasi. Dalam”Pribumisasi Islam” tergambar bagaimana ajaran
Islam yang bersifat normatif berasal dari Tuhan diakomodatisikan kedalam
kebudayaan yang berasal dari manusia tanpa hilangnya identitasnya masing-masing
sehingga tidak ada lagi pemurnian Islam atau menyamakan dengan praktek
keagamaan masyarakat muslim di Timur Tengah. Menurut Abdurrahman Wahid sendiri,
Arabisasi atau proses mengindentifikasi diri dengan budaya Timur Tengah berarti tercabutnya masyarakat dari akar
budaya sendiri.[16]
Gagasan Gus dur ini berangkat dari komitmennya yang tinggi
terhadap nilai-nilai universal Islam dan khazanah pemikiran Sunni tradisional
sebagai sesuatu yang dianggapnya mempunyai kemampuan untuk membangun harmoni
sosial, toleransi, serta membangun basis-basis kehidupan politik yang egaliter,
adil, dan demokratis. Gagasan yang lebih menitikberatkan kepada substansi dari pada
simbol atau bentuk formal negara ini sempat ditinggalkan oleh para tokoh Islam,
terutama karena mereka terlalu disibukkan oleh polemik tentang berbagai bentuk
formal negara dalam suasana konfrontasi penuh ketegangan dan sikap saling
curiga sejak awal.[17]
1.
Islam dan Budaya
Jika melihat kebelakang meninjau juga
dari historis Islam di Indonesia, yang pertama kali menyebarkan agama Islam di
Indonesia yang di kenal dengan nama guru-guru pengembara dengan karakteristik
sufi/ yang kita kenal salama ini yaitu
wali songo yang telah berusaha mengadopsi budaya lokal secara selektif sehingga
ajaran Islam dapat diterima tanpa kehilangan esensi disatu sisi, sementara budaya
lokal dapat berjalan sebagaimana adanya. Wali songo memasukkan nilai-nilai
Islam ke dalam budaya lokal dan menjadikannya sebagai serana dakwah, tanpa
mengubah format budaya lokal itu, sehingga demikian ajaran Islam dapat diterima
oleh masyarakat.[18]
Islam kultural adalah
Islam yang memiliki orientasi kepada pengembangan aspek sosio-kultural dari
kehidupan Islami melalui jalur non-politik, seperti dakwah Islam secara damai
atau melalui pengembangan pendidikan, ekonomi, kesehatan, lingkungan hidup dan
sebagainya.[19]
Proses akulturasi dan adaptasi antara unsur-unsur budaya yang satu dengan
budaya yang lain atau dalam antropologi kultural disebut konsep integrasi
kultural, ini tidak dapat dihindari karena pluralitas agama, budaya dan adat
istiadat yang ada tidak-bisa-tidak saling bergesekan.
Ada kemungkinan
akulturasi timbal-balik antara Islam dengan budaya lokal diakui dalam suatu kaidah
(ketentuan dasar) dalam ilmu ushul fiqh, bahwa “al-‘adah muhakkamah,” adat
itu dihukumkan, atau lebih lengkapnya, “adat adalah syari’at yang dihukumkan” (al-‘adat
syari’ah muhakkamah), artinya adat dan kebiasaan suatu masyarakat yaitu
budaya lokalnya adalah sumber hukum dalam Islam.[20] Unsur-unsur
budaya lokal yang dapat dijadikan sumber hukum adalah yang tidak bertentangan dengan
prinsip-prinsip Islam. Unsur-unsur yang bertentangan dengan prinsip Islam
dengan sendirinya harus dihilangkan dan diganti. Inilah makna kehadiran Islam
di suatu tempat atau negeri.
Islam kultural
mengandung pengertian bahwa sosialisasi dan institusionalisasi ajaran Islam
dilakukan melalui upaya-upaya yang menekankan pada perubahan kesadaran dan
tingkah laku umat/masyarakat tanpa keterlibatan negara dan tanpa perubahan
sistem nasional menjadi sistem yang Islami.[21]
Islam Kultural adalah metode da’wah yang dipakai untuk mengajak masyarakat
untuk masuk islam dengan menta’ati segala perintah Allah dan menjauhi semua
larangannya dengan menggunakan pendekatan-pendekatan kultur atau budaya
masyarakat setempat. Islam Kultural memberikan keanekaragaman dalam mengajak
masyarakat untuk mencintai dan mendalami islam dengan cara-cara yang tidak kaku
dan menyesuaikan keadaan kebudayaan setempat sehingga islam tidak lagi agama
yang kaku dalam menyebarkan agama islam. Kaku yang di maksud adalah penyebaran
agama islam tidak harus menggunakan metode atau cara yang dilakukan di negara
Islam Timur Tengah dalam mensyi’arkan agama Islam.[22]
Selain itu juga, Islam Kultural dengan membawa
konsep culture (budaya) berarti berniat menjadikan Islam sebagai sebuah cairan
budaya yang merembes masuk ke setiap pori-pori kehidupan masyarakat Indonesia
sehingga akan tercermin dari pola-pola perilaku keseharian umat yang berasaskan
Islam. Gerakan Islam kutural yang dimulai sejak tahun 1980-an sebagai sebuah
gerakan kaum cendikia yang mencoba memobilisasi pikiran masyarakat untuk tidak
selalu terfokus pada gerakan politik yang hanya menimbulkan perpecahan, sesuai
dengan pendapat Buya Syafii Maarif yang menyatakan:
“Politik hanya memecah belah dan
menciptakan lawan, sedangkan dakwah berkeinginan merangkul dan memperbanyak
kawan. Tentu hal itu tidak bisa dipungkiri begitu saja, sebab dengan berpolitik
umat menjadi miopis, hanya mampu melihat realitas-realitas jangka pendek.”[23]
Kalangan kaum Muslim
Indonesia kebanyakan belum jelas benar. Ketidakjelasan itu dengan sendirinya
berpenagruh langsung kepada bagaimana penilaian tentang absah atau tidaknya
suatu ekspresi kultural yang khas Indonesia, bahkan mungkin khas daerah
tertentu Indonesia. Antara agama dan budaya tidaklah dapat dipisahkan. Tetapi
juga telah diinsafi oleh banyak ahli, agama dan budaya itu, meskipun tidak
dapat dipisahkan namun dapat dibedakan, dan tidak dibenarkan mencampuradukkan
diantara keduanya. Agama an sich bernilai mutlak, tidak berubah menurut
perubahan waktu dan tempat. Tetapi budaya, sekalipun yang berdasarkan agama dapat
berubah dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat. Sementara kebanyakan
budaya berdasarkan agama, namun tidak pernah terjadi sebaliknya, yaitu agama
berdasarkan agama. Sekurangnya begitulah menurut keyakinan berdasarkan
kebenaran wahyu Tuhan kepada para Nabi dan Rasul. Oleh karena itu agama adalah
primer, dan budaya adalah skunder. Budaya dapat merupakan ekspresi hidup
keagamaan, karena itu sub-ordinate terhadap agama, dan tidak pernah
sebaliknya. Maka, sementara agama adalah absolut, berlaku untuk setiap ruang
dan waktu, budaya adalah relatif, terbatasi oleh ruang dan waktu.[24]
2.
Pengaruh Islam Kultural
Gagasan Islam kultural yang dikemukakan oleh Nurcholish Madjid ternyata
memiliki pengaruh positif yang cukup besar bagi perkembangan umat Islam pada
masa Orde Baru. Namun demikian, ada sebagian kalangan yang berpendapat bahwa
gagasan Islam kultural tidak memberikan pengaruh terhadap umat Islam. Menurut
mereka, pemikiran Nurcholish Madjid hanya memberikan pengaruh kepada kalangan
tertentu saja, misalnya terhadap kalangan intelektual Islam, sementara terhadap
masyarakat luas pemikiran Islam kultural Nurcholish Madjid tidak memberikan
pengaruh apa-apa.
Aminuddin berpendapat
juga, walaupun gagasan Islam kultural telah dikumandangkan Nurcholish Madjid sejak
awal 1970-an, tepatnya tanggal 2 Januari 1970, gagasan ini kurang efektif
mempengaruhi agenda strategi politik umat Islam hingga penghujung dasawarsa
1970-an. Menurutnya disebabkan dengan tiga hal[25] yaitu pertama,
gerakan pemikiran yang dipelopori Nurcholish Madjid masih bersifat elitis
karena hanya mengandalkan jurnal-jurnal ilmiah dan diskusi-diskusi terbatas sebagai
sarana penyebaran idenya. Kedua, seruan Nurcholish Madjid kepada kaum
Muslim agar tidak terlalu mengandalkan perjuangan pada medan politik partisan
tenggelam oleh perdebatan pemikiran teologinya di masyarakat. Ketiga,
masih kuatnya pengaruh penganut strategi lama dalam tubuh kaum Muslimin seperti
terlihat dalam Pemilu 1971 dan 1977. Sementara Nurcholish Madjid sendiri,
sebagai
pioner pemikiran “Islam Yes, Partai Islam No” malah
terlibat kampanye PPP dalam pemilu 1977. Menurut Aminuddin, gerakan Islam
kultural baru mulai memiliki pengaruh yang berarti setelah Abdurrahman Wahid
dan kawan-kawan melakukan langkah-langkah konkret gerakan Islam kultural dengan
memulai serangkaian rekayasa di NU.
Gagasan
Islam kultural kemudian berkembang ke seluruh masyarakat luas seiring dengan
perkembangan gerakan pembaruan di dalam NU. Tokoh utama yang menjadi penggerak
gerakan pembaruan dalam tubuh NU adalah Abdurrahman Wahid. Menurut Dawam
Rahardjo, gagasan Islam kultural Nurcholish Madjid ini diikuti oleh NU dengan
gerakan “Kembali kepada Khittah 1926” dalam Muktamar NU di Situbondo tahun 1984
dan Muhammadiyah dengan wacana “Masyarakat Utama”, walaupun dengan dalih lain.
Dengan masuknya kedua organisasi ini ke dalam gerbong Islam kultural maka
secara tidak langsung membuktikan bahwa kemajuan Islam lebih banyak dicapai
melalui kegiatan kemasyarakatan daripada kegiatan politik.[26]
Sementara
itu menurut Azyumardi Azra, Islam kultural berhasil memberikan pengaruhnya bagi
kemajuan umat Islam Indonesia, seperti terbentuknya ICMI (Ikatan Cendekiawan
Muslim Indonesia), Bank Muamalat, BPR Syari’ah, pelaksanaan Festival Istiqlal,
dan Penetapan UU Sistem Pendidikan Nasional, dan UU Peradilan Agama yang
mengakui eksistensi dan aspirasi umat Islam. Pada saat yang sama,
kegiatan-kegiatan dakwah juga semakin intensif dan ekstensif.[27]
Pengaruh
lainnya Juga menurut Bahtiar Effendi yang dikutip oleh Muhammad Parmudi, bahwa
dengan gagasan Cak Nur banyak cendikiawan Muslim yang memegang jabatan di
pemerintah. Selain itu juga, inspirasi dari gagasanya sebagai respon positif
yaitu banyak tokoh Muslim yang muncul ke permukaan dan melakukan pergerakan
tanpa membawa atribut Islam. Hal ini dilakukan oleh organisasi HMI (Himpunan
Mahasiswa Indonesia) yang mengenyam pendidikan diluar maupun di dalam negeri.
Di antara tokoh-tokoh Muslim yang masuk mesin pemerintahan Orde Baru adalah Abdul
Gafur, Akbar Tandjung, Busthanul Arifin, Saleh Afiff, Azwar Anas, Hasjrul
Harahap, Arifin M. Siregar, Syamsuddin Sumintapura, Sa’adillah Mursyid,
Syafruddin Bahsyarah, Tarmizi Taher, dan Mar’ie Muhammad adalah tokoh-tokoh HMI
yang masuk ke dalam mesin birokrasi Orde Baru.[28]
C.
Kesimpulan
Islam Kultuaral yang dikonsesikan oleh Nurcholish
Madjid pada tahun 1980-an berniat menjadikan Islam sebagai sebuah cairan budaya
yang merembes masuk ke setiap pori-pori kehidupan masyarakat Indonesia sehingga
akan tercermin dari pola-pola perilaku keseharian umat yang berasaskan Islam. Konsep yang di kultuskannya adalah melepaskan diri dari nilai-nilai tradisional, dan mencari nilai-nilai yang
berorientasi ke masa depan.
Pemikiran Nurcholish Madjid itu, kemudian dilanjutkan
oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dengan menggunakan pendekatan antropologi
kultural serta komitmennya yang tinggi terhadap nilai-nilai universal Islam dan
khazanah pemikiran Sunni tradisional, mampu memetakan hubungan Islam dan negara
secara elegan. Di samping itu, dia mencoba memahami dan mengaplikasikan Islam
di Indonesia yang majemuk dan sangat plural ini dalam tampilan yang ramah,
yaitu dengan memerankan Islam secara moral dan sosio-kultural tanpa adanya
sikap konfrontatif. Hal ini bertujuan agar Islam baik dalam hubungannya dengan
politik, negara Indonesia, maupun tradisi serta budaya yang sangat plural dapat
berfungsi bagi kehidupan masyarakat bangsa, tidak sebagai bentuk kenegaraan
tertentu (formalisasi Islam/simbolisasi Islam), melainkan sebagai etika sosial
dalam kehidupan bernegara dan pribumisasi Islam.
Daftar Pustaka
Azra, Azyumardi, 2000 “Islam di
Tengah Arus Transisi Menuju Demokrasi”, dalam Abdul Mu’nim D.Z (editor), Islam
di Tengah Arus Transisi, Jakarta: Kompas.
Rahardjo, Dawam, 2004
“Kata Pengantar: Islam Kultural dalam Perspektif Reformasi”, dalam Asep
Gunawan, Artikulasi Islam Kultural, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Aminudin, 1999, Kekuatan
Islam dan Pergulatan Kekuasaan di Indonesia Sebelum dan Sesudah Runtuhnya Rezim
Soeharto,Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Madjid, Nurcholish, 2003,
Islam Agama Kemanusiaan, Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam
Indonesia. Jakarta: Paramadina.
Harian Republika 28/2/2004
http://bangbudi.blog.ugm.ac.id/2012/09/16/islam-kultural-dan-islam-struktural-lawan-atau-pilihan/ di akses pada 20 desember 2016.
Rachman (penyunting),
Ensiklopedi Nurcholish Madjid,
Abdillah, Masykuri,
2011, Islam dan Dinamika Sosial Politik di Indonesia. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
as Syafi’i , Abi
Bakar al-Ahdali al-Yamani. Kudus: Menara Kudus, TT.
Azra, Azyumardi, 2012/1433,
Revisitasi Islam Politik dan Islam Kultural di Indonesia (Indo-Islamika,
volume 1, nomor 2.
Vidieo Azyumardi
Azra di Democracy Project, Yayasan Abad Demokrasi: 2013
Parmudi,
Mochammad, 2014, ‘Islam dan Demokrasi di Indonesia; Dalam perspektif Pengembangan
Pemikiran Politik Islam”, Laporan Hasil Penelitian Individual, IAIN
Walisongo.
Naupal, Islam
Kultural dan Islam Fundamental di Indonesia, (Universitas Indonesia)
Ensiklopedi Islam,
Jilid 2, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994
Bahtiar Effendy, 1998 Islam
dan Negara, Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia,
Jakarta: Paramadina.
Muhammad
Wahyuni Nafis, 2014, Cak Nur, Sang Guru Bangsa Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.
Madjid Nurcholish, 1993,
Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan, cet. V
Nadroh, Siti, 1999, Wacana
Keagamaan dan Politik Nurcholish Madjid, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Abdullah, M. Amin, 2006,
Islamic Studies di Perguruan Tinggi,Pendekatan Itegratif-Interkonektif,
Cet; I Yogyakarta; Pustaka Pelajar.
Masdar, Umaruddin,
1999, Membaca Pikiran Gus Dur dan Amin Rais Tentang Demokrasi Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nurcholish
Madjid, 1995, Islam Agama Kemanusiaan. Jakarta: Paramadina.
Wahid Abdurrahman,
1997, “Islam dan Masyarakat Bangsa”,
Pesantren, No. 3, Vol. VI
Harold Coward, Setting
the Research For Canadian Religious Pluralism(TTP: ARC 25,)
[1] Harold Coward, Setting
the Research For Canadian Religious Pluralism(TTP: ARC 25, 1997), hal. 123.
[2] Abdurrahman
Wahid, “Islam dan Masyarakat Bangsa”, Pesantren, No. 3, Vol. VI, 1989, hal. 11
[3] Umaruddin
Masdar,Membaca Pikiran Gus Dur dan Amin Rais Tentang Demokrasi(Yogyakarta:
Pustaka
Pelajar, 1999), hal. 132.
[4] Organisasi yang
pertama kali menerima Pancasila sebagai dasar negara adalah NU, dengan melalui
MUNAS Ulama NU di Situbondo, Jatim tanggal 21 Desember 1983, setelah pada bulan
Agustus 1983 Presiden Soeharto menginginkan agar semua organisasi sosial
keagamaan menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas. Lihat, Einahar
Sitompul, NU dan Pancasila(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1989); dan Martin
Van B., NU, Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, Terj. Farid
Wajidi (Yogyakarta: LkiS, TT), hal. 115-149.
[5] Nurcholis Madjid, Islam,
Kemodernan dan Keindonesiaan, Cet, XI (Bandung, Mizan; November 2008), hlm.206
[6] M. Amin Abdullah, Islamic
Studies di Perguruan Tinggi,Pendekatan Itegratif-Interkonektif, Cet; I
(Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2006), hlm.135
[7] Islam Politik
di Indonesia, mempunyai dua bentuk yang meskipun direpresentasikan dua kelompok
muslim yang berbeda, maupun mempunyai agenda yang sama yaitu menerapkan hukum
Islam secara formal oleh negara, dan pendirian negara Islam (negara berdasarkan
syari’at Islam). Menyimpulkan bahwa islam politik dengan agendanya tersebut
telah, dalam batas-batas tertentu, melahirkan Radikalisme, namun wajah Islam
yang lain yaitu Islam kultural, harus dipertahankan dan dikembangkan di
Indonesia.
[8] Siti
Nadroh, Wacana Keagamaan dan Politik
Nurcholish Madjid, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999) hal.173
[9] Nurcholish
Madjid, “Beberapa Catatan Sekitar Masalah Pembaruan Pemikiran dalam Islam”,dalam
bagian IV bukunya Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan,(Bandung:
Mizan, 1993) cet. V, hal. 218
[10] Muhammad
Wahyuni Nafis, Cak Nur, Sang Guru Bangsa (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara,2014) hlm.272
[11] Bahtiar
Effendy, Islam dan Negara, Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam
di Indonesia, (Jakarta:
Paramadina, 1998) hal.16
[12] Nurcholish
Madjid, Islam Agama Kemanusiaan, (Jakarta: Paramadina, 1995) hal. 21
[13] “Nurcholish,
yang Menarik Gerbong”, Tempo, 14 Juli 1986, hal. 57
[14] Nama lengkap
Ibn Taimiyah adalah Taqiyuddin Abu Abbas Ahmad (Harran, Turki, 10 Rabiul awal 611/22
Januari 1263-Damaskus, 20 Zulkaidah 728/26 atau 27 September 1328). Dia
merupakan pemikir Islam terkemuka dan tokoh pembaru abad ke-8 H/ke-14 M,
berasal dari keluarga cendekiawan. Ayahnya, Syihabuddin Abdul Halim adalah
seorang ahli hadis dan ulama terkenal di Damaskus yang mengajar di berbagai
sekolah terkemuka di kota itu. Kakeknya, Syekh Majuddin Abdus Salam juga adalah
seorang ulama ternama. Corak pemikiran Ibn Taimiyah bersifat empiris, sehingga
dia dikenal sebagai pemikir Islam yang rasionalis. Sebagai seorang empiris,
prinsip pemikirannya adalah bahwa kebenaran itu hanya ada dalam kenyataan,
bukan dalam pemikiran. Untuk lebih lengkapnya lihat Ensiklopedi Islam, Jilid 2,
Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994, hal. 168-171
[15] Rachman
(penyunting), Ensiklopedi Nurcholish Madjid, hal. 2970-2971
[16] Naupal, Islam
Kultural dan Islam Fundamental di Indonesia, (Universitas Indonesia )
hlm.292
[17] Machasin, Islam
Kultural, bahan diskusi untuk acara “Selamatan 60 Tahun Gus Dur” yang
diselenggarakan oleh PMII cabang Yogyakarta di Hotel Santika, 30-31 Juli 2000.
Hal ini sesuai dengan pendapat Masdar F. Mas’udi tentang “Islam Butuh
Penyadaran Kultural Secara Kritis”, dalam Prisma, 05 Mei 1995, hal. 71, dengan
mengatakan bahwa “selalu ada dua sayap dalam wacana politik umat Islam yang
berorientasi pada perebutan kekuasaan, gerakan politik dan yang berorientasi
pada penumbuhan kesadaran (simbol-simbol Islam)”. Lihat, Islam, Demokrasi Atas
Bawah, Penyunting Arief Afandi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996).
[18] Lihat Video
Azyumardi Azra di Democracy Project, Islam dan Budaya Lokal (Yayasan
Abad Demokrasi: 2013).
[19] Azyumardi Azra,
Revisitasi Islam Politik dan Islam Kultural di Indonesia (Indo-Islamika,
volume 1, nomor 2, 2012/1433) hlm.233
[20] Lihat dalam
al-Faraid al-Bahiyyah, oleh Abi Bakar al-Ahdali al-Yamani as Syafi’i (Kudus:
Menara Kudus, TT), hal. 63.
[21] Masykuri
Abdillah, Islam dan Dinamika Sosial Politik di Indonesia,(Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2011) hlm.110
[22] http://bangbudi.blog.ugm.ac.id/2012/09/16/islam-kultural-dan-islam-struktural-lawan-atau-pilihan/ di akses pada 20 desember 2016.
[23]
Harian Republika 28/2/2004
[24] Nurcholish Madjid, Islam
Agama Kemanusiaan, Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia
(Jakarta: Paramadina, 2003) hlm. 36
[25] Aminudin, Kekuatan
Islam dan Pergulatan Kekuasaan di Indonesia Sebelum dan Sesudah Runtuhnya Rezim
Soeharto,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999) hal. 153
[26] Dawam Rahardjo,
“Kata Pengantar: Islam Kultural dalam Perspektif Reformasi”, dalam Asep
Gunawan, Artikulasi Islam Kultural, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2004) hal. xiii
[27], hal Azyumardi
Azra, “Islam di Tengah Arus Transisi Menuju Demokrasi”, dalam Abdul
Mu’nim D.Z (editor), Islam di Tengah Arus Transisi, (Jakarta: Kompas,
2000) hlm.xxix
[28] Mochammad
Parmudi, ‘Islam dan Demokrasi di Indonesia; Dalam perspektif Pengembangan
Pemikiran Politik Islam”, Laporan Hasil Penelitian Individual, IAIN
Walisongo, 2014 hlm. 148-149.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar