Senin, 22 Mei 2017

Islam Kultural


ISLAM INDONESIA :
Diskursus Islam Kultural

A.  Pendahuluan
Indonesia adalah negara yang majemuk yang terdiri dari berbagai macam ras, bahasa, kebudayaan, suku, agama dan kepercayaan hidup di negeri ini. Yang mana Semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” merupakan ungkapan yang tepat untuk menjelaskan realitas sekaligus harapan bangsa ini. Walaupun berbagai ragam budaya, bahasa, ras, suku, agama dan kepercayaan hidup namun Indonesia tetaplah satu, tetap merasa saling memiliki, saling menghargai satu sama lain. Pendapat Blaise Pascal yang dikutip oleh Harold Coward, pluralisme yang tidak diintegrasikan dalam bentuk kesatuan (unity) adalah kekacauan (chaos), sedangkan kesatuan yang tidak menjaga pluralitas adalah tirani (tyranny).[1]
Salah satu persoalan mendasar yang ingin dipecahkan secara tuntas oleh para intelektual muslim adalah menyangkut hubungan Islam dan Negara ( dasar negara Indonesia) dari masa orde lama hingga orde baru. Namun terdapat berbagai  kesulitan dalam mencari hubungan antara Islam dan negara, bangsa atau berwawasan kebangsaan sebab seakan-akan sifat Islam itu suprarasional. Sebagaimana semua agama, Islam menjangkau kemanusiaan secara universal tidak peduli asal-usul etnisnya.[2] Kemudian asumsi ini melahirkan semacam kewajiban bagi pemeluk Islam untuk mendirikan negara Islam. Tapi Ironisnya, negara Islam diteorisasikan sebagai negara Tuhan atau kerajaan Tuhan di alam bumi yang komponen-komponennya adalah mahluk hidup di antaranya umat Islam, biantang dll; hukum Islam (syari’ah), dan khalifah sebagai bayangan Tuhan di muka bumi.[3]
Situasi hubungan antara Islam dan negara di Indonesia tidak berbeda jauh dengan apa yang dialami kawasan dunia Islam lainnya. Untuk waktu yang agak lama, sejarah Islam kontemporer ditandai dengan kemandegkan politik (political stagnation) dalam hubungannya dengan negara. Islam Politik (political Islam) pernah dianggap sebagai lawan (rival) kekuasaan yang dapat mengusik atau mengubah basis kebangsaan negara. Ketegangan ini baru bisa dikatakan relatif berhenti,setelah semua ormas Islam menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas organisasi pada pertengahan tahun 1980-an.[4]
Beragam budaya dan agama berkembang dalam masyarakat, yang mana keduanya tak jarang lebur dan terjadi akulturasi. Aklturasi tersebut seringkali menyebabkan berbagai hal yang dapat membingungkan orang untuk membedakan mana yang produk agama, dan mana yang merupakan produk budaya. Walaupun antara agama dan budaya tidaklah dapat dipisahkan, tetapi juga telah diinsafi oleh banyak ahli, agama dan budaya itu, meskipun tidak dapat dipisahkan namun dapat dibedakan, dan tidak dibenarkan mencampuradukkan diantara keduanya. Agama  bernilai mutlak, tidak berubah menurut perubahan waktu dan tempat. Tetapi budaya, sekalipun yang berdasarkan agama, dapat berubah dari waktu ke waktu, dan dari tempat ke tempat. Sementara kebanyakan budaya berdasarkan agama, namun tidak pernah terjadi sebaliknya, yaitu agama berdasarkan agama
Untuk membedakan dan memisahkan antara budaya dan agama, maka diperlukan pembaharuan. Dalam pandangan Nurcholis Madjid, pembaruan harus dimulai dari dua hal yang saling erat hubungannya, yaitu melepaskan diri dari nilai-nilai tradisional, dan mencari nilai-nilai yang berorientasi ke masa depan.[5]Menurut Nurcholish Madjid, dorongan melakukan pembaruan inilah yang mengandung konotasi, bahwa kaum muslim Indonesia sekarang ini telah mengalami kejumudan kembali dalam pemikiran dan pengembangan ajaran-ajaran Islam, dan kehilangan kekuatan secara psikologis perjuangannya.
Ide pembaruan dalam pemikiran Islam hanya dapat mungkin diterangkan, jika seseorang dapat secara historis-kritis mengamati perkembangan pemikiran Islam dalam hubungannya dengan konteks sosial-budaya yang mengitarinya. Tanpa mengaitkan dengan konteks tidak pernah ada pembaruan. Teks-teks al-Qur’an dan al-Sunnah akan tetap seperti itu adanya, sedang alam, peristiwa-perstiwa alam, peristiwa-peristiwa ilmu dan teknologi akan terus menerus berkembang tanpa mengenal batas yang final.[6]
Oleh kerana itu, dalam makalah ini akan membahas tentang dua wajah Islam yaitu Islam Kultural dan Islam Politik, yang telah berkembang diberbagai belahan dunia Muslim termasuk di Indonesia.[7]
Cultural Islam dan Political Islam adalah dua istilah populer yang telah berkembang didunia Islam termasuk Indonesia. Dan didalam bahasa Malaysia dan Indonesia, Political Islam lebih dikenal dengan sebutan Islam politik, yang umumnya diperhadapkan dengan Cultural Islam yang disebut dengan Islam kultural. Penggunaan dua Istilah ini menunjukkan adanya dua jenis Islam yaitu Islam politik dan Islam kultural.

B.   Islam Kultural dan Pengaruhnya terhadap Politik Islam

Islam Kultural sebagai sebuah gerakan dimulai sejak tahun 1980-an lebih terlihat muncul sebagai sebuah mainstream (arus utama) pemikiran dari pada sebuah gerakan yang tampak secara fisik, namun dampaknya dapat dirasakan terutama dalam menimbulkan wacana publik dan penyadaran terhadap umat dalam menyikapi permasalah sosial di sekitarnya. Islam kultural pertama kali digagasi oleh Nurcholish Madjid (cak nur) pada masa orde baru, dalam pidatonya tanggal 2 Januari 1970, menyimpulkan bahwa dia merasa yakin bahwa Islam tidak mungkin lagi akan mendapatkan kekuatan politik, jika masih mengharapkan diwujudkan dalam jalur partai politik praktis. Dalam kaitan untuk menjaga kepentingan dan kesinambungan perkembangan umat, dia menyerukan “Islam Yes, Partai Islam, No” sebuah seruan deislamisasi partai politik, melalui program yang disebutnya “sekularisasi”.[8] Nurcholish Madjid menyebutkan definisi yang diberikan oleh Harvey Cox mengenai “sekularisasi” dan “sekularisme” [9]yaitu Sekularisasi sebagai istilah deskriptif mempunyai arti yang luas dan mencakup. Ia muncul dalam samaran-samaran yang berbeda-beda, tergantung kepada sejarah keagamaan dan politik suatu daerah yang dimaksudkan. Namun, di manapun ia timbul, harus dibedakan dari sekularisme. Sekularisasi adalah perkembangan pembebasan. Sedangkan sekularisme adalah nama untuk suatu ideologi, suatu pandangan dunia baru yang tertutup yang berfungsi sangat mirip sebagai agama baru. Salah satu kesadaran yang sangat berakar dalam pandangan seorang Muslim adalah bahwa agama Islam itu sebuah agama yang universal, yang relevan untuk setiap zaman dan tempat, serta cocok sekalian umat manusia.[10]
Pemberian nama Islam kultural nampaknya ingin mengkontraskan dengan Islam politik. Namun demikian, kemunculan Islam kultural sebenarnya bukan untuk menegasikan Islam politik melainkan sebuah solusi atau alternatif atas kebuntuan Islam politik di Indonesia, baik pada masa awal kemerdekaan, revolusi, Demokrasi Parlementer, Demokrasi Terpimpin, dan awal Orde Baru.
Islam kultural mempunyai arti bahwa Islam merupakan salah satu komponen yang membentuk, melandasi, dan mengarahkan bangsa dan negara. Dalam hal ini, Islam kultural tidak mengharuskan terbentuknya negara Islam. Yang paling penting menurut Islam kultural adalah dilaksanakannya nilai-nilai substansi Islam yaitu keadilan, kesamaan, partisipasi, dan musyawarah.[11] Dengan menolak partai politik sebagai wahana pokok perjuangan Islam, Nurcholish Madjid secara tegas menentang gagasan negara islam. Gagasan Nurcholish Madjid ini menitikberatkan pada usaha pembaruan keagamaan dan etika serta membuka diri terhadap kerjasama dengan kelompok-kelompok masyarakat di luar umat islam.
Nurcholish Madjid mengatakan:” Karena itu kini bangsa Indonesia sangat comfortable dengan gagasan mereka berkenaan dengan hubungan antara agama dan negara yang didasarkan pada Pancasila sebagai titik temu antara seluruh golongan.”[12] dapat disimpulkan bahwa bagi Nurcholish Madjid negara Pancasila adalah bentuk final bagi bangsa Indonesia, sehingga umat Islam tidak perlu mendirikan negara Islam. Yang paling penting, kata Nurcholish Madjid, adalah bagaimana setiap undang-undang yang disusun di DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) memiliki kesesuaian dengan nilai-nilai keislaman.
Dengan Islam kultural maka Pancasila dapat diterima dengan damai oleh umat Islam. Menurut Jalaluddin Rahmat,  pemikiran Nurcholish Madjid telah menyebabkan ormas-ormas Islam yang telah menerima Pancasila sebagai asas organisasinya merasa “lebih damai karena menemukan kebenaran.”[13] konsep Islam kultural yang dirumuskan Nurcholish Madjid terutama mengenai istilah “sekularisasi” terlihat jelas bahwa dia banyak mengutip pendapat-pendapat ilmuwan Barat, seperti Robert N. Bellah, Harvey Cox, dan Talcot Parsons. Sekularisasi dari ilmuwan Barat karena istilah sekularisasi memang muncul dari sana. Oleh karena itu, pengambilan istilah sekularisasi dari Barat merupakan hal yang biasa dan wajar. Namun demikian, secara keseluruhan Nurcholish Madjid nampaknya banyak dipengaruhi oleh seorang ilmuwan Islam yang banyak mengkritik ilmuwan lainnya yang dia anggap “menyimpang” dari Alquran dan Hadits yaitu Ibn Taimiyah.[14]
Kesimpulan menurut Nurcholish Madjid terdapat perbedaan cukup prinsipal antara pengertian “sekularisasi” secara sosiologis dan secara filosofis. Dan karena sedemikian kontroversialnya istilah “sekular”,  “sekularisasi”, dan “sekularisme” itu, maka dia berkata “adalah bijaksana untuk tidak menggunakan istilah-istilah tersebut, dan lebih baik menggantikannya dengan istilah-istilah teknis lain yang lebih tepat dan netral.”[15]
 Kemudian  pemikiran  Cak Nur itu di lanjutkan oleh Abdurrahman Wahid (Presiden ke-4 RI) dengan sebutan pribumisasi. Dalam”Pribumisasi Islam” tergambar bagaimana ajaran Islam yang bersifat normatif berasal dari Tuhan diakomodatisikan kedalam kebudayaan yang berasal dari manusia tanpa hilangnya identitasnya masing-masing sehingga tidak ada lagi pemurnian Islam atau menyamakan dengan praktek keagamaan masyarakat muslim di Timur Tengah. Menurut Abdurrahman Wahid sendiri, Arabisasi atau proses mengindentifikasi diri dengan budaya Timur Tengah  berarti tercabutnya masyarakat dari akar budaya sendiri.[16]
Gagasan Gus dur  ini berangkat dari komitmennya yang tinggi terhadap nilai-nilai universal Islam dan khazanah pemikiran Sunni tradisional sebagai sesuatu yang dianggapnya mempunyai kemampuan untuk membangun harmoni sosial, toleransi, serta membangun basis-basis kehidupan politik yang egaliter, adil, dan demokratis. Gagasan yang lebih menitikberatkan kepada substansi dari pada simbol atau bentuk formal negara ini sempat ditinggalkan oleh para tokoh Islam, terutama karena mereka terlalu disibukkan oleh polemik tentang berbagai bentuk formal negara dalam suasana konfrontasi penuh ketegangan dan sikap saling curiga sejak awal.[17]
1.    Islam dan Budaya
Jika melihat kebelakang meninjau juga dari historis Islam di Indonesia, yang pertama kali menyebarkan agama Islam di Indonesia yang di kenal dengan nama guru-guru pengembara dengan karakteristik sufi/  yang kita kenal salama ini yaitu wali songo yang telah berusaha mengadopsi budaya lokal secara selektif sehingga ajaran Islam dapat diterima tanpa kehilangan esensi disatu sisi, sementara budaya lokal dapat berjalan sebagaimana adanya. Wali songo memasukkan nilai-nilai Islam ke dalam budaya lokal dan menjadikannya sebagai serana dakwah, tanpa mengubah format budaya lokal itu, sehingga demikian ajaran Islam dapat diterima oleh masyarakat.[18]
Islam kultural adalah Islam yang memiliki orientasi kepada pengembangan aspek sosio-kultural dari kehidupan Islami melalui jalur non-politik, seperti dakwah Islam secara damai atau melalui pengembangan pendidikan, ekonomi, kesehatan, lingkungan hidup dan sebagainya.[19] Proses akulturasi dan adaptasi antara unsur-unsur budaya yang satu dengan budaya yang lain atau dalam antropologi kultural disebut konsep integrasi kultural, ini tidak dapat dihindari karena pluralitas agama, budaya dan adat istiadat yang ada tidak-bisa-tidak saling bergesekan.
Ada kemungkinan akulturasi timbal-balik antara Islam dengan budaya lokal diakui dalam suatu kaidah (ketentuan dasar) dalam ilmu ushul fiqh, bahwa “al-‘adah muhakkamah,” adat itu dihukumkan, atau lebih lengkapnya, “adat adalah syari’at yang dihukumkan” (al-‘adat syari’ah muhakkamah), artinya adat dan kebiasaan suatu masyarakat yaitu budaya lokalnya adalah sumber hukum dalam Islam.[20] Unsur-unsur budaya lokal yang dapat dijadikan sumber hukum adalah yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Unsur-unsur yang bertentangan dengan prinsip Islam dengan sendirinya harus dihilangkan dan diganti. Inilah makna kehadiran Islam di suatu tempat atau negeri.
Islam kultural mengandung pengertian bahwa sosialisasi dan institusionalisasi ajaran Islam dilakukan melalui upaya-upaya yang menekankan pada perubahan kesadaran dan tingkah laku umat/masyarakat tanpa keterlibatan negara dan tanpa perubahan sistem nasional menjadi sistem yang Islami.[21]
Islam Kultural adalah metode da’wah yang dipakai untuk mengajak masyarakat untuk masuk islam dengan menta’ati segala perintah Allah dan menjauhi semua larangannya dengan menggunakan pendekatan-pendekatan kultur atau budaya masyarakat setempat. Islam Kultural memberikan keanekaragaman dalam mengajak masyarakat untuk mencintai dan mendalami islam dengan cara-cara yang tidak kaku dan menyesuaikan keadaan kebudayaan setempat sehingga islam tidak lagi agama yang kaku dalam menyebarkan agama islam. Kaku yang di maksud adalah penyebaran agama islam tidak harus menggunakan metode atau cara yang dilakukan di negara Islam Timur Tengah dalam mensyi’arkan agama Islam.[22]
 Selain itu juga, Islam Kultural dengan membawa konsep culture (budaya) berarti berniat menjadikan Islam sebagai sebuah cairan budaya yang merembes masuk ke setiap pori-pori kehidupan masyarakat Indonesia sehingga akan tercermin dari pola-pola perilaku keseharian umat yang berasaskan Islam. Gerakan Islam kutural yang dimulai sejak tahun 1980-an sebagai sebuah gerakan kaum cendikia yang mencoba memobilisasi pikiran masyarakat untuk tidak selalu terfokus pada gerakan politik yang hanya menimbulkan perpecahan, sesuai dengan pendapat Buya Syafii Maarif yang menyatakan:
“Politik hanya memecah belah dan menciptakan lawan, sedangkan dakwah berkeinginan merangkul dan memperbanyak kawan. Tentu hal itu tidak bisa dipungkiri begitu saja, sebab dengan berpolitik umat menjadi miopis, hanya mampu melihat realitas-realitas jangka pendek.”[23]
Kalangan kaum Muslim Indonesia kebanyakan belum jelas benar. Ketidakjelasan itu dengan sendirinya berpenagruh langsung kepada bagaimana penilaian tentang absah atau tidaknya suatu ekspresi kultural yang khas Indonesia, bahkan mungkin khas daerah tertentu Indonesia. Antara agama dan budaya tidaklah dapat dipisahkan. Tetapi juga telah diinsafi oleh banyak ahli, agama dan budaya itu, meskipun tidak dapat dipisahkan namun dapat dibedakan, dan tidak dibenarkan mencampuradukkan diantara keduanya. Agama an sich bernilai mutlak, tidak berubah menurut perubahan waktu dan tempat. Tetapi budaya, sekalipun yang berdasarkan agama dapat berubah dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat. Sementara kebanyakan budaya berdasarkan agama, namun tidak pernah terjadi sebaliknya, yaitu agama berdasarkan agama. Sekurangnya begitulah menurut keyakinan berdasarkan kebenaran wahyu Tuhan kepada para Nabi dan Rasul. Oleh karena itu agama adalah primer, dan budaya adalah skunder. Budaya dapat merupakan ekspresi hidup keagamaan, karena itu sub-ordinate terhadap agama, dan tidak pernah sebaliknya. Maka, sementara agama adalah absolut, berlaku untuk setiap ruang dan waktu, budaya adalah relatif, terbatasi oleh ruang dan waktu.[24]

2.    Pengaruh Islam Kultural
Gagasan Islam kultural yang dikemukakan oleh Nurcholish Madjid ternyata memiliki pengaruh positif yang cukup besar bagi perkembangan umat Islam pada masa Orde Baru. Namun demikian, ada sebagian kalangan yang berpendapat bahwa gagasan Islam kultural tidak memberikan pengaruh terhadap umat Islam. Menurut mereka, pemikiran Nurcholish Madjid hanya memberikan pengaruh kepada kalangan tertentu saja, misalnya terhadap kalangan intelektual Islam, sementara terhadap masyarakat luas pemikiran Islam kultural Nurcholish Madjid tidak memberikan pengaruh apa-apa.
Aminuddin berpendapat juga, walaupun gagasan Islam kultural telah dikumandangkan Nurcholish Madjid sejak awal 1970-an, tepatnya tanggal 2 Januari 1970, gagasan ini kurang efektif mempengaruhi agenda strategi politik umat Islam hingga penghujung dasawarsa 1970-an. Menurutnya disebabkan dengan tiga hal[25] yaitu pertama, gerakan pemikiran yang dipelopori Nurcholish Madjid masih bersifat elitis karena hanya mengandalkan jurnal-jurnal ilmiah dan diskusi-diskusi terbatas sebagai sarana penyebaran idenya. Kedua, seruan Nurcholish Madjid kepada kaum Muslim agar tidak terlalu mengandalkan perjuangan pada medan politik partisan tenggelam oleh perdebatan pemikiran teologinya di masyarakat. Ketiga, masih kuatnya pengaruh penganut strategi lama dalam tubuh kaum Muslimin seperti terlihat dalam Pemilu 1971 dan 1977. Sementara Nurcholish Madjid sendiri, sebagai
pioner pemikiran “Islam Yes, Partai Islam No” malah terlibat kampanye PPP dalam pemilu 1977. Menurut Aminuddin, gerakan Islam kultural baru mulai memiliki pengaruh yang berarti setelah Abdurrahman Wahid dan kawan-kawan melakukan langkah-langkah konkret gerakan Islam kultural dengan memulai serangkaian rekayasa di NU.
            Gagasan Islam kultural kemudian berkembang ke seluruh masyarakat luas seiring dengan perkembangan gerakan pembaruan di dalam NU. Tokoh utama yang menjadi penggerak gerakan pembaruan dalam tubuh NU adalah Abdurrahman Wahid. Menurut Dawam Rahardjo, gagasan Islam kultural Nurcholish Madjid ini diikuti oleh NU dengan gerakan “Kembali kepada Khittah 1926” dalam Muktamar NU di Situbondo tahun 1984 dan Muhammadiyah dengan wacana “Masyarakat Utama”, walaupun dengan dalih lain. Dengan masuknya kedua organisasi ini ke dalam gerbong Islam kultural maka secara tidak langsung membuktikan bahwa kemajuan Islam lebih banyak dicapai melalui kegiatan kemasyarakatan daripada kegiatan politik.[26]
            Sementara itu menurut Azyumardi Azra, Islam kultural berhasil memberikan pengaruhnya bagi kemajuan umat Islam Indonesia, seperti terbentuknya ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia), Bank Muamalat, BPR Syari’ah, pelaksanaan Festival Istiqlal, dan Penetapan UU Sistem Pendidikan Nasional, dan UU Peradilan Agama yang mengakui eksistensi dan aspirasi umat Islam. Pada saat yang sama, kegiatan-kegiatan dakwah juga semakin intensif dan ekstensif.[27]
            Pengaruh lainnya Juga menurut Bahtiar Effendi yang dikutip oleh Muhammad Parmudi, bahwa dengan gagasan Cak Nur banyak cendikiawan Muslim yang memegang jabatan di pemerintah. Selain itu juga, inspirasi dari gagasanya sebagai respon positif yaitu banyak tokoh Muslim yang muncul ke permukaan dan melakukan pergerakan tanpa membawa atribut Islam. Hal ini dilakukan oleh organisasi HMI (Himpunan Mahasiswa Indonesia) yang mengenyam pendidikan diluar maupun di dalam negeri. Di antara tokoh-tokoh Muslim yang masuk mesin pemerintahan Orde Baru adalah Abdul Gafur, Akbar Tandjung, Busthanul Arifin, Saleh Afiff, Azwar Anas, Hasjrul Harahap, Arifin M. Siregar, Syamsuddin Sumintapura, Sa’adillah Mursyid, Syafruddin Bahsyarah, Tarmizi Taher, dan Mar’ie Muhammad adalah tokoh-tokoh HMI yang masuk ke dalam mesin birokrasi Orde Baru.[28]

C.  Kesimpulan
Islam Kultuaral yang dikonsesikan oleh Nurcholish Madjid pada tahun 1980-an berniat menjadikan Islam sebagai sebuah cairan budaya yang merembes masuk ke setiap pori-pori kehidupan masyarakat Indonesia sehingga akan tercermin dari pola-pola perilaku keseharian umat yang berasaskan Islam. Konsep yang di kultuskannya adalah melepaskan diri dari nilai-nilai tradisional, dan mencari nilai-nilai yang berorientasi ke masa depan.
Pemikiran Nurcholish Madjid itu, kemudian dilanjutkan oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dengan menggunakan pendekatan antropologi kultural serta komitmennya yang tinggi terhadap nilai-nilai universal Islam dan khazanah pemikiran Sunni tradisional, mampu memetakan hubungan Islam dan negara secara elegan. Di samping itu, dia mencoba memahami dan mengaplikasikan Islam di Indonesia yang majemuk dan sangat plural ini dalam tampilan yang ramah, yaitu dengan memerankan Islam secara moral dan sosio-kultural tanpa adanya sikap konfrontatif. Hal ini bertujuan agar Islam baik dalam hubungannya dengan politik, negara Indonesia, maupun tradisi serta budaya yang sangat plural dapat berfungsi bagi kehidupan masyarakat bangsa, tidak sebagai bentuk kenegaraan tertentu (formalisasi Islam/simbolisasi Islam), melainkan sebagai etika sosial dalam kehidupan bernegara dan pribumisasi Islam.



















Daftar Pustaka

            Azra, Azyumardi, 2000 “Islam di Tengah Arus Transisi Menuju Demokrasi”, dalam Abdul Mu’nim D.Z (editor), Islam di Tengah Arus Transisi, Jakarta: Kompas.
            Rahardjo, Dawam, 2004 “Kata Pengantar: Islam Kultural dalam Perspektif Reformasi”, dalam Asep Gunawan, Artikulasi Islam Kultural, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
            Aminudin, 1999, Kekuatan Islam dan Pergulatan Kekuasaan di Indonesia Sebelum dan Sesudah Runtuhnya Rezim Soeharto,Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
            Madjid, Nurcholish, 2003, Islam  Agama Kemanusiaan, Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia. Jakarta: Paramadina.
            Harian Republika 28/2/2004
                Rachman (penyunting), Ensiklopedi Nurcholish Madjid,
                Abdillah, Masykuri, 2011, Islam dan Dinamika Sosial Politik di Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
            as Syafi’i , Abi Bakar al-Ahdali al-Yamani. Kudus: Menara Kudus, TT.
            Azra, Azyumardi, 2012/1433, Revisitasi Islam Politik dan Islam Kultural di Indonesia (Indo-Islamika, volume 1, nomor 2.
            Vidieo Azyumardi Azra di Democracy Project, Yayasan Abad Demokrasi: 2013
          Parmudi, Mochammad, 2014, ‘Islam dan Demokrasi di Indonesia; Dalam perspektif Pengembangan Pemikiran Politik Islam”, Laporan Hasil Penelitian Individual, IAIN Walisongo.
       Naupal, Islam Kultural dan Islam Fundamental di Indonesia, (Universitas Indonesia)
       Ensiklopedi Islam, Jilid 2, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994
       Bahtiar Effendy, 1998 Islam dan Negara, Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina.
Muhammad Wahyuni Nafis, 2014, Cak Nur, Sang Guru Bangsa Jakarta: PT Kompas  Media Nusantara.
       Madjid Nurcholish, 1993, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan, cet. V
       Nadroh, Siti, 1999, Wacana Keagamaan dan Politik Nurcholish Madjid, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
       Abdullah, M. Amin, 2006, Islamic Studies di Perguruan Tinggi,Pendekatan Itegratif-Interkonektif, Cet; I Yogyakarta; Pustaka Pelajar.   
Masdar, Umaruddin, 1999, Membaca Pikiran Gus Dur dan Amin Rais Tentang Demokrasi Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nurcholish Madjid, 1995, Islam Agama Kemanusiaan. Jakarta: Paramadina.
       Wahid Abdurrahman, 1997,  “Islam dan Masyarakat Bangsa”, Pesantren, No. 3, Vol. VI
       Harold Coward, Setting the Research For Canadian Religious Pluralism(TTP: ARC 25,)



[1] Harold Coward, Setting the Research For Canadian Religious Pluralism(TTP: ARC 25, 1997), hal. 123.
[2] Abdurrahman Wahid, “Islam dan Masyarakat Bangsa”, Pesantren, No. 3, Vol. VI, 1989, hal. 11
[3] Umaruddin Masdar,Membaca Pikiran Gus Dur dan Amin Rais Tentang Demokrasi(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hal. 132.
[4] Organisasi yang pertama kali menerima Pancasila sebagai dasar negara adalah NU, dengan melalui MUNAS Ulama NU di Situbondo, Jatim tanggal 21 Desember 1983, setelah pada bulan Agustus 1983 Presiden Soeharto menginginkan agar semua organisasi sosial keagamaan menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas. Lihat, Einahar Sitompul, NU dan Pancasila(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1989); dan Martin Van B., NU, Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, Terj. Farid Wajidi (Yogyakarta: LkiS, TT), hal. 115-149.
[5] Nurcholis Madjid, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan, Cet, XI (Bandung, Mizan; November 2008), hlm.206
[6] M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi,Pendekatan Itegratif-Interkonektif, Cet; I (Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2006), hlm.135
[7] Islam Politik di Indonesia, mempunyai dua bentuk yang meskipun direpresentasikan dua kelompok muslim yang berbeda, maupun mempunyai agenda yang sama yaitu menerapkan hukum Islam secara formal oleh negara, dan pendirian negara Islam (negara berdasarkan syari’at Islam). Menyimpulkan bahwa islam politik dengan agendanya tersebut telah, dalam batas-batas tertentu, melahirkan Radikalisme, namun wajah Islam yang lain yaitu Islam kultural, harus dipertahankan dan dikembangkan di Indonesia.
[8] Siti Nadroh,  Wacana Keagamaan dan Politik Nurcholish Madjid, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999) hal.173
[9] Nurcholish Madjid, “Beberapa Catatan Sekitar Masalah Pembaruan Pemikiran dalam Islam”,dalam bagian IV bukunya Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan,(Bandung: Mizan, 1993) cet. V, hal. 218
[10] Muhammad Wahyuni Nafis, Cak Nur, Sang Guru Bangsa (Jakarta: PT Kompas  Media Nusantara,2014) hlm.272
[11] Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam
di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1998) hal.16                                                                            
[12] Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan, (Jakarta: Paramadina, 1995) hal. 21
[13] “Nurcholish, yang Menarik Gerbong”, Tempo, 14 Juli 1986, hal. 57
[14] Nama lengkap Ibn Taimiyah adalah Taqiyuddin Abu Abbas Ahmad (Harran, Turki, 10 Rabiul awal 611/22 Januari 1263-Damaskus, 20 Zulkaidah 728/26 atau 27 September 1328). Dia merupakan pemikir Islam terkemuka dan tokoh pembaru abad ke-8 H/ke-14 M, berasal dari keluarga cendekiawan. Ayahnya, Syihabuddin Abdul Halim adalah seorang ahli hadis dan ulama terkenal di Damaskus yang mengajar di berbagai sekolah terkemuka di kota itu. Kakeknya, Syekh Majuddin Abdus Salam juga adalah seorang ulama ternama. Corak pemikiran Ibn Taimiyah bersifat empiris, sehingga dia dikenal sebagai pemikir Islam yang rasionalis. Sebagai seorang empiris, prinsip pemikirannya adalah bahwa kebenaran itu hanya ada dalam kenyataan, bukan dalam pemikiran. Untuk lebih lengkapnya lihat Ensiklopedi Islam, Jilid 2, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994, hal. 168-171
[15] Rachman (penyunting), Ensiklopedi Nurcholish Madjid, hal. 2970-2971
[16] Naupal, Islam Kultural dan Islam Fundamental di Indonesia, (Universitas Indonesia ) hlm.292
[17] Machasin, Islam Kultural, bahan diskusi untuk acara “Selamatan 60 Tahun Gus Dur” yang diselenggarakan oleh PMII cabang Yogyakarta di Hotel Santika, 30-31 Juli 2000. Hal ini sesuai dengan pendapat Masdar F. Mas’udi tentang “Islam Butuh Penyadaran Kultural Secara Kritis”, dalam Prisma, 05 Mei 1995, hal. 71, dengan mengatakan bahwa “selalu ada dua sayap dalam wacana politik umat Islam yang berorientasi pada perebutan kekuasaan, gerakan politik dan yang berorientasi pada penumbuhan kesadaran (simbol-simbol Islam)”. Lihat, Islam, Demokrasi Atas Bawah, Penyunting Arief Afandi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996).
[18] Lihat Video Azyumardi Azra di Democracy Project, Islam dan Budaya Lokal (Yayasan Abad Demokrasi: 2013).
[19] Azyumardi Azra, Revisitasi Islam Politik dan Islam Kultural di Indonesia (Indo-Islamika, volume 1, nomor 2, 2012/1433) hlm.233
[20] Lihat dalam al-Faraid al-Bahiyyah, oleh Abi Bakar al-Ahdali al-Yamani as Syafi’i (Kudus: Menara Kudus, TT), hal. 63.
[21] Masykuri Abdillah, Islam dan Dinamika Sosial Politik di Indonesia,(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2011) hlm.110
[23] Harian Republika 28/2/2004                                                                                       
[24] Nurcholish Madjid, Islam  Agama Kemanusiaan, Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia (Jakarta: Paramadina, 2003) hlm. 36
[25] Aminudin, Kekuatan Islam dan Pergulatan Kekuasaan di Indonesia Sebelum dan Sesudah Runtuhnya Rezim Soeharto,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999) hal. 153
[26] Dawam Rahardjo, “Kata Pengantar: Islam Kultural dalam Perspektif Reformasi”, dalam Asep Gunawan, Artikulasi Islam Kultural, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004) hal. xiii
[27], hal Azyumardi Azra, “Islam di Tengah Arus Transisi Menuju Demokrasi”, dalam Abdul Mu’nim D.Z (editor), Islam di Tengah Arus Transisi, (Jakarta: Kompas, 2000) hlm.xxix
[28] Mochammad Parmudi, ‘Islam dan Demokrasi di Indonesia; Dalam perspektif Pengembangan Pemikiran Politik Islam”, Laporan Hasil Penelitian Individual, IAIN Walisongo, 2014 hlm. 148-149.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar